BAB 4
HUKUM PERIKATAN
·
Pengertian Hukum Perikatan
Hukum
perikatan adalah suatu hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaanantara dua
orang atau lebih di mana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain
berkewajiban atas sesuatu. Hubungan hukum dalam harta kekayaan ini merupakan
suatu akibathukum, akibat hukum dari suatu perjanjian atau peristiwa hukum lain
yang menimbulkan perikatan.
Di
dalam hukum perikatan setiap orang dapat mengadakan perikatan yang bersumber
pada perjanjian, perjanjian apapun dan bagaimanapun, baik itu yang diatur
dengan undang-undang atau tidak,inilah yang disebut dengan kebebasan
berkontrak, dengan syarat kebebasan berkontrak harushalal, dan tidak melanggar
hukum, sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-undang.
Di
dalam perikatan ada perikatan untuk berbuat sesuatu dan untuk tidak berbuat
sesuatu.
Yang
dimaksud dengan perikatan untuk berbuat sesuatu adalah melakukan perbuatan
yangsifatnya positif, halal, tidak melanggar undang-undang dan sesuai dengan
perjanjian. Sedangkan perikatan untuk tidak berbuat sesuatu yaitu untuk tidak
melakukan perbuatan tertentu yang telahdisepakati dalam perjanjian.
·
Dasar Hukum Perikatan
Sumber-sumber
hukum perikatan yang ada di Indonesia adalah perjanjian dan undang-undang, dan
sumber dari undang-undang dapat dibagi lagi menjadi undang-undang melulu dan
undang-undang dan perbuatan manusia. Sumber undang-undang dan perbuatan manusia
dibagi lagi menjadi perbuatan yang menurut hukum dan perbuatan yang melawan
hukum.
Dasar
hukum perikatan berdasarkan KUH Perdata terdapat tiga sumber adalah sebagai
berikut :
·
Perikatan yang timbul dari
persetujuan ( perjanjian )
·
Perikatan yang timbul dari
undang-undang
·
Perikatan terjadi bukan perjanjian,
tetapi terjadi karena perbuatan melanggar hukum ( onrechtmatige daad ) dan
perwakilan sukarela ( zaakwaarneming )
Sumber
perikatan berdasarkan undang-undang :
·
Perikatan ( Pasal 1233 KUH Perdata )
: Perikatan, lahir karena suatu persetujuan atau karena undang-undang.
Perikatan ditujukan untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk
tidak berbuat sesuatu.
·
Persetujuan ( Pasal 1313 KUH Perdata
) : Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih
mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih.
·
Undang-undang ( Pasal 1352 KUH
Perdata ) : Perikatan yang lahir karena undang-undang timbul dari undang-undang
atau dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang
·
Asas-asas Dalam Hukum Perjanjian
1.
Asas kebebasan berkontrak
Asas
ini mengandung pengertian bahwa setiap orang dapat mengadakan perjanjian apapun
juga, baik yang telah diatur dalam undang-undang, maupun yang belum diatur
dalam undang-undang (lihat Pasal 1338 KUHPdt).
Asas
kebebasan berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan Pasal 1338 ayat (1)
KUHPdt, yang berbunyi: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”
Asas
ini merupakan suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk:
1. Membuat atau tidak membuat perjanjian;
2. Mengadakan perjanjian dengan siapa pun;
3. Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan,
dan persyaratannya;
4. Menentukan bentuk perjanjiannya apakah
tertulis atau lisan.
Latar
belakang lahirnya asas kebebasan berkontrak adalah adanya paham individualisme
yang secara embrional lahir dalam zaman Yunani, yang diteruskan oleh kaum
Epicuristen dan berkembang pesat dalam zaman renaissance melalui antara lain
ajaran-ajaran Hugo de Grecht, Thomas Hobbes, John Locke dan J.J. Rosseau.
Menurut paham individualisme, setiap orang bebas untuk memperoleh apa saja yang
dikehendakinya.
Dalam
hukum kontrak, asas ini diwujudkan dalam “kebebasan berkontrak”. Teori leisbet
fair in menganggap bahwa the invisible hand akan menjamin kelangsungan jalannya
persaingan bebas. Karena pemerintah sama sekali tidak boleh mengadakan
intervensi didalam kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Paham individualisme
memberikan peluang yang luas kepada golongan kuat ekonomi untuk menguasai
golongan lemah ekonomi. Pihak yang kuat menentukan kedudukan pihak yang lemah.
Pihak yang lemah berada dalam cengkeraman pihak yang kuat seperti yang diungkap
dalam exploitation de homme par l’homme.
2.
Asas Konsesualisme
Asas
konsensualisme dapat disimpulkan dalam Pasal 1320 ayat (1) KUHPdt. Pada pasal
tersebut ditentukan bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian adalah adanya
kata kesepakatan antara kedua belah pihak. Asas ini merupakan asas yang
menyatakan bahwa perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara formal,
melainkan cukup dengan adanya kesepakatan kedua belah pihak. Kesepakatan adalah
persesuaian antara kehendak dan pernyataan yang dibuat oleh kedua belah pihak.
Asas
konsensualisme muncul diilhami dari hukum Romawi dan hukum Jerman. Didalam
hukum Jerman tidak dikenal istilah asas konsensualisme, tetapi lebih dikenal
dengan sebutan perjanjian riil dan perjanjian formal. Perjanjian riil adalah
suatu perjanjian yang dibuat dan dilaksanakan secara nyata (dalam hukum adat
disebut secara kontan). Sedangkan perjanjian formal adalah suatu perjanjian
yang telah ditentukan bentuknya, yaitu tertulis (baik berupa akta otentik
maupun akta bawah tangan).
Dalam
hukum Romawi dikenal istilah contractus verbis literis dan contractus
innominat. Yang artinya bahwa terjadinya perjanjian apabila memenuhi bentuk
yang telah ditetapkan. Asas konsensualisme yang dikenal dalam KUHPdt adalah
berkaitan dengan bentuk perjanjian.
3.
Asas Kepastian Hukum
Asas
kepastian hukum atau disebut juga dengan asas pacta sunt servanda merupakan
asas yang berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas pacta sunt servanda
merupakan asas bahwa hakim atau pihak ketiga harus menghormati substansi
kontrak yang dibuat oleh para pihak, sebagaimana layaknya sebuah undang-undang.
Mereka tidak boleh melakukan intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat
oleh para pihak.
Asas
pacta sunt servanda dapat disimpulkan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPdt. Asas
ini pada mulanya dikenal dalam hukum gereja. Dalam hukum gereja itu disebutkan
bahwa terjadinya suatu perjanjian bila ada kesepakatan antar pihak yang
melakukannya dan dikuatkan dengan sumpah. Hal ini mengandung makna bahwa setiap
perjanjian yang diadakan oleh kedua pihak merupakan perbuatan yang sakral dan
dikaitkan dengan unsur keagamaan. Namun, dalam perkembangan selanjutnya asas
pacta sunt servanda diberi arti sebagai pactum, yang berarti sepakat yang tidak
perlu dikuatkan dengan sumpah dan tindakan formalitas lainnya. Sedangkan
istilah nudus pactum sudah cukup dengan kata sepakat saja.
4.
Asas Itikad Baik (Good Faith)
Asas
itikad baik tercantum dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPdt yang berbunyi:
“Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.” Asas ini merupakan asas
bahwa para pihak, yaitu pihak kreditur dan debitur harus melaksanakan substansi
kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh maupun kemauan baik
dari para pihak. Asas itikad baik terbagi menjadi dua macam, yakni itikad baik
nisbi (relative) dan itikad baik mutlak.
Pada
itikad yang pertama, seseorang memperhatikan sikap dan tingkah laku yang nyata
dari subjek. Pada itikad yang kedua, penilaian terletak pada akal sehat dan
keadilan serta dibuat ukuran yang obyektif untuk menilai keadaan (penilaian
tidak memihak) menurut norma-norma yang objektif.
5.
Asas Kepribadian (Personality)
Asas
kepribadian merupakan asas yang menentukan bahwa seseorang yang akan melakukan
dan/atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan perseorangan saja. Hal ini
dapat dilihat dalam Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUHPdt.
Pasal
1315 KUHPdt menegaskan: “Pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan
perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri.” Inti ketentuan ini
sudah jelas bahwa untuk mengadakan suatu perjanjian, orang tersebut harus untuk
kepentingan dirinya sendiri.
·
Wanprestasi dan Akibatnya
Wanprestasi
adalah tidak memenuhi atau lalai melaksanakan kewajiban sebagaimana yang
ditentukan dalam perjanjian yang dibuat antara kreditur dengan debitur.
Ada
empat kategori dari wanprestasi, yaitu :
·
Tidak melakukan apa yang disanggupi
akan dilakukannya
·
Melaksanakan apa yang dijanjikannya,
tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikan
·
Melakukan apa yang dijanjikan tetapi
terlambat
·
Melakukan sesuatu yang menurut
perjanjian tidak boleh dilakukannya
Akibat-akibat
wanprestasi berupa hukuman atau akibat-akibat bagi debitur yang melakukan
wanprestasi, dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu :
1.
Membayar kerugian yang diderita oleh kreditur ( ganti rugi )
Ganti
rugi sering diperinci meliputi tiga unsur, yakni :
Ø Biaya adalah segala pengeluaran atau pengongkosan yang
nyata-nyata sudah dikeluarkan oleh salah satu pihak
Ø Rugi adalah kerugian karena kerusakan barang-barang
kepunyaan kreditor yang diakibatkan oleh kelalaian si debitor
Ø Bunga adalah kerugian yang berupa kehilangan keuntungan yang
sudah dibayangkan atau dihitung oleh kreditor.
2.
Pembatalan perjanjian atau pemecahan perjanjian
Di
dalam pembatasan tuntutan ganti rugi telah diatur dalam Pasal 1247 dan Pasal
1248 KUH Perdata.
3.
Peralihan resiko
Adalah
kewajiban untuk memikul kerugian jika terjadi suatu peristiwa di luar kesalahan
salah satu pihak yang menimpa barang dan menjadi objek perjanjian sesuai dengan
Pasal 1237 KUH Perdata.
·
Hapusnya Hukum Perikatan
Pasal
1381 secara tegas menyebutkan sepuluh cara hapusnya perikatan. Cara-cara
tersebut adalah:
Ø Pembayaran.
Ø Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan atau
penitipan (konsignasi).
Ø Pembaharuan utang (novasi).
Ø Perjumpaan utang atau kompensasi.
Ø Percampuran utang (konfusio).
Ø Pembebasan utang.
Ø Musnahnya barang terutang.
Ø Batal/ pembatalan.
Ø Berlakunya suatu syarat batal.
Ø Dan lewatnya waktu (daluarsa).
Pembayaran
Pembayaran
dalam arti sempit adalah pelunasan utang oleh debitur kepada kreditur,
pembayaran seperti ini dilakukan dalam bentuk uang atau barang. Sedangkan
pengertian pembayaran dalam arti yuridis tidak hanya dalam bentuk uang, tetapi
juga dalam bentuk jasa seperti jasa dokter, tukang bedah, jasa tukang cukur
atau guru privat.
Konsignasi
Konsignasi
terjadi apabila seorang kreditur menolak pembayaran yang dilakukan oleh
debitur, debitur dapat melakukan penawaran pembayaran tunai atas utangnya, dan
jika kreditur masih menolak, debitur dapat menitipkan uang atau barangnya di
pengadilan.
Novasi
Novasi
adalah sebuah persetujuan, dimana suatu perikatan telah dibatalkan dan
sekaligus suatu perikatan lain harus dihidupkan, yang ditempatkan di tempat
yang asli. Ada tiga macam jalan untuk melaksanakan suatu novasi atau
pembaharuan utang yakni:
1.
Apabila seorang yang berutang membuat suatu perikatan utang baru guna orang
yang mengutangkannya, yang menggantikan utang yang lama yang dihapuskan
karenanya. Novasi ini disebut novasi objektif.
2.
Apabila seorang berutang baru ditunjuk untuk menggantikan orang berutang lama,
yang oleh siberpiutang dibebaskan dari perikatannya (ini dinamakan novasi
subjektif pasif).
3.
Apabila sebagai akibat suatu perjanjian baru, seorang kreditur baru ditunjuk
untuk menggantikan kreditur lama, terhadap siapa si berutang dibebaskan dari
perikatannya (novasi subjektif aktif).
Kompensasi
Yang
dimaksud dengan kompensasi adalah penghapusan masing-masing utang dengan jalan
saling memperhitungkan utang yang sudah dapat ditagih antara kreditur dan
debitur.
Konfusio
Konfusio
adalah percampuran kedudukan sebagai orang yang berutang dengan kedudukan
sebagai kreditur menjadi satu. Misalnya si debitur dalam suatu testamen
ditunjuk sebagai waris tunggal oleh krediturnya, atau sidebitur kawin dengan
krediturnya dalam suatu persatuan harta kawin.
BAB
5
HUKUM
PERJANJIA
· STANDAR KONTRAK DALAM HUKUM PERJANJIAN
Istilah
perjanjian baku berasal dari terjemahan dari bahasa Inggris, yaitu standard
contract. Standar kontrak merupakan perjanjian yang telah ditentukan dan dituangkan
dalam bentuk formulir. Kontrak ini telah ditentukan secara sepihak oleh salah
satu pihak, terutama pihak ekonomi kuat terhadap ekonomi lemah. Kontrak baku
menurut Munir Fuadi adalah : Suatu kontrak tertulis yang dibuat oleh hanya
salah satu pihak dalam kontrak tersebut, bahkan seringkali tersebut sudah
tercetak (boilerplate) dalam bentuk-bentuk formulir tertentu oleh salah satu
pihak, yang dalam hal ini ketika kontrak tersebut ditandatangani umumnya para
pihak hanya mengisikan data-data informatif tertentu saja dengan sedikit atau
tanpa perubahan dalam klausul-klausulnya dimana para pihak lain dalam kontrak
tersebut tidak mempunyai kesempatan atau hanya sedikit kesempatan untuk
menegosiasi atau mengubah klausul-kalusul yang sudah dibuat oleh salah satu
pihak tersebut, sehingga biasanya kontrak baku sangat berat sebelah. Sedangkan
menurut Pareto, suatu transaksi atau aturan adalah sah jika membuat keadaan
seseorang menjadi lebih baik dengan tidak seorangpun dibuat menjadi lebih
buruk, sedangkan menurut ukuran Kaldor-Hicks, suatu transaksi atau aturan sah
itu adalah efisien jika memberikan akibat bagi suatu keuntungan sosial.
Maksudnya adalah membuat keadan seseorang menjadi lebih baik atau mengganti
kerugian dalam keadaan yang memeprburuk.
Menurut
Treitel, “freedom of contract” digunakan untuk merujuk kepada dua asas umum
(general principle). Asas umum yang pertama mengemukakan bahwa “hukum tidak
membatasi syarat-syarat yang boleh diperjanjikan oleh para pihak: asas tersebut
tidak membebaskan berlakunya syarat-syarat suatu perjanjian hanya karena
syarat-syarat perjanjian tersebut kejam atau tidak adil bagi satu pihak. Jadi
ruang lingkup asas kebebasan berkontrak meliputi kebebasan para pihak untuk
menentukan sendiri isi perjanjian yang ingin mereka buat, dan yang kedua bahwa
pada umumnya seseorang menurut hukum tidak dapat dipaksa untuk memasuki suatu
perjnjian. Intinya adalah bahwa kebebasan berkontrak meliputi kebebasan bagi
para pihak untuk menentukan dengan siapa dia ingin atau tidak ingin membuat perjanjian.
Tanpa sepakat dari salah satu pihak yang membuat perjanjian, maka perjanjian
yang dibuat tidak sah. Orang tidak dapat dipaksa untuk memberikan sepakatnya.
Sepakat yang diberikan dengan dipaksa adalah contradictio in terminis. Adanya
paksaan menunjukkan tidak adanya sepakat. Yang mungkin dilakukan oleh pihak
lain adalah untuk memberikan pihak kepadanya, yaitu untuk setuju mengikatkan
diri pada perjanjian yang dimaksud atau menolak mengikatkan diri pada
perjanjian yang dimaksud. Dengan akibat transasksi yang diinginkan tidak dapat
dilangsungkan. Inilah yang terjadi dengan berlakunya perjanjian baku di dunia
bisnis pada saat ini.
Namun kebebasan berkontrak diatas tidak dapat berlaku mutlak tanpa batas. Artinya kebebasan berkontrak tidak tak terbatas.
Namun kebebasan berkontrak diatas tidak dapat berlaku mutlak tanpa batas. Artinya kebebasan berkontrak tidak tak terbatas.
Dalam
melihat pembatasan kebebasan berkontrak terhadap kebolehan pelaksanaan kontrak
baku terdapat dua pendapat yang dikemukaan oleh Treitel yaitu terdapat dua
pembatasan. Yang pertama adalah pembatasan yang dilakukan untuk menekan
penyalahgunaan yang disebabkan oleh karena berlakunya asas kebebasan
berkontrak. Misalnya diberlakukannya exemption clauses (kalusul eksemsi) dalam
perjanjian-perjanjian baku. Yang kedua pembatasan kebebasan berkontrak karena
alasan demi kepentingan umum (public interest).
Dari
keterangan diatas dapat di ketahui bahwa tidak ada kebebasan berkontrak yang
mutlak. Pemerintah dapat mengatur atau melarang suatu kontrak yang dapat
berakibat buruk terhadap atau merugikan kepentingan masyarakat.
Pembatasan-pembatasan terhadap asas kebebasan berkontrak yang selama ini
dikenal dan diakui oleh hukum kontrak sebagaimana telah diterangkan diatas
ternyata telah bertambah dengan pembatasan-pembatasan baru yang sebelumnya
tidak dikenal oleh hukum perjanjian yaitu pembatasan-pembatasan yang datangnya
dari pihak pengadilan dalam rangka pelaksanaan fungsinya selaku pembuat hukum,
dari pihak pembuat peraturan perundang-undangan (legislature) terutama dari
pihak pemerintah, dan dari diperkenalkan dan diberlakukannya perjanjian adhesi
atau perjanjian baku yang timbul dari kebutuhan bisnis.
Di
Indonesia kita ketahui pula ada dijumpai tindakan negara yang merupakan campur
tangan terhadap isi perjanjian yang dibuat oleh para pihak. Sebagai contoh yang
paling dikenal adalah yang menyangkut hubungan antara buruh dan
majikan/pengusaha.
Tetapi tidak semua tingkat peraturan perundang-undangan dapat membatasi asas kebebasn berkontrak, namun hanya UU atau Perpu atau peraturan perundan-undagan yang lebih tinggi saja yang memepunyai kekuatan hukum untuk emmbatsai bekerjanya asas kebebasan berkontrak.
Tetapi tidak semua tingkat peraturan perundang-undangan dapat membatasi asas kebebasn berkontrak, namun hanya UU atau Perpu atau peraturan perundan-undagan yang lebih tinggi saja yang memepunyai kekuatan hukum untuk emmbatsai bekerjanya asas kebebasan berkontrak.
Bila
dikaitkan dengan peraturan yang dikeluarkan yang berkaitan dengan kontrak baku
atau perjanjian standar yang merupakan pembolehan terhadap praktek kontrak
baku, maka terdapat landasan hukum dari berlakunya perjanjian baku yang
dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia, yaitu :
1.
Pasal 6.5. 1.2. dan Pasal 6.5.1.3. NBW Belanda
Isi ketentuan itu adalah sebagai berikut :
Bidang-bidang usaha untuk mana aturan baku diperlukan ditentukan dengan peraturan.
Aturan baku dapat ditetapkan, diubah dan dicabut jika disetujui oleh Menteri kehakiman, melalui sebuah panitian yasng ditentukan untuk itu. Cara menyusun dan cara bekerja panitia diatur dengan Undang-undang.
Penetapan, perubahan, dan pencabutan aturan baku hanya mempunyai kekuatan, setelah ada persetujuan raja dan keputusan raja mengenai hal itu dalam Berita Negara.
Seseorang yang menandatangani atau dengan cara lain mengetahui isi janji baku atau menerima penunjukkan terhadap syarat umum, terikat kepada janji itu.
Janji baku dapat dibatalkan, jika pihak kreditoir mengetahui atau seharunya mengetahui pihak kreditur tidak akan menerima perjanjian baku itu jika ia mengetahui isinya.
2.
Pasal 2.19 sampai dengan pasal 2.22 prinsip UNIDROIT (Principles of
International Comercial Contract).
Prinsip UNIDROIT merupakan prinsip hukum yang mengatur hak dan kewajiban para pihak pada saat mereka menerapkan prinsip kebebasan berkontrak karena prinsip kebebasan berkontrak jika tidak diatur bisa membahayakan pihak yang lemah. Pasal 2.19 Prinsip UNIDROIT menentukan sebagai berikut :
Apabila salah satu pihak atau kedua belah pihak menggunakan syarat-syarat baku, maka berlaku aturan-aturan umum tentang pembentukan kontrak dengan tunduk pada pasal 2.20 – pasal 2.22.
Syarat-syarat baku merupakan aturan yang telah dipersiapkan terlebih dahulu untuk digunakan secara umum dan berulang-ulang oleh salah satu pihak dan secara nyata digunakan tanpa negosiasi dengan pihak lainnya.
Ketentuan ini mengatur tentang :
a. Tunduknya salah satu pihak terhadap kontrak baku
b. Pengertian kontrak baku.
3.
Pasal 2.20 Prinsip UNIDROIT menentukan sebagai berikut :
Suatu persyaratan dalam persyaratan-persyaratan standar yang tidak dapat secara layak diharapkan oleh suatu pihak, dinyatakan tidak berlaku kecuali pihak tersebut secara tegas menerimanya.
Untuk menentukan apakah suatu persyaratan memenuhi ciri seperti tersebut diatas akan bergantung pada isi bahasa, dan penyajiannya.
4.
Pasal 2.21 berbunyi :dalam hal timbul suatu pertentangan antara
persyaratan-persyaratan standar dan tidak standar, persyaratan yang disebut
terakhir dinyatakan berlaku.
5.
Pasal 2.22
Jika kedua belah pihak menggunakan persyaratan-persyaratan standar dan mencapai kesepakatan, kecuali untuk beberapa persyaratan tertentu, suatu kontrak disimpulkan berdasarkan perjanjian-perjanjian yang telah disepakati dan persyaratan-persyaratan standar yang memiliki kesamaan dalam substansi, kecuali suatu pihak sebelumnya telah menyatakan jelas atau kemudian tanpa penundaan untuk memberitahukannya kepada pihak lain, bahwa hal tersebut tidak dimaksudkan untuk terikat dengan kontrak tersebut.
6.
UU No 10 Tahun 1988 tentang Perubahan UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
7.
UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.
Dengan telah dikeluarkannya peraturan-peraturan tersebut diatas menunjukkan bahwa pada intinya kontrak baku merupakan jenis kontrak yang diperbolehkan dan dibenarkan untuk dilaksanakan oleh kedua belah pihak karena pada dasarnya dasar hukum pelaksanaan kontrak baku dibuat untuk melindungi pelaksanaan asas kebebasan berkontrak yang berlebihan dan untuk kepentingan umum sehingga perjanjian kontrak baku berlaku dan mengikat kedua belah pihak yang membuatnya.
Dengan telah dikeluarkannya peraturan-peraturan tersebut diatas menunjukkan bahwa pada intinya kontrak baku merupakan jenis kontrak yang diperbolehkan dan dibenarkan untuk dilaksanakan oleh kedua belah pihak karena pada dasarnya dasar hukum pelaksanaan kontrak baku dibuat untuk melindungi pelaksanaan asas kebebasan berkontrak yang berlebihan dan untuk kepentingan umum sehingga perjanjian kontrak baku berlaku dan mengikat kedua belah pihak yang membuatnya.
·
Macam-macam perjanjian
Ditinjau
dari berbagai segi, Perjanjian Internasional dapat digolongkan ke dalam 4
(empat) segi, yaitu:
1. Perjanjian Internasional ditinjau dari jumlah pesertanya
Secara
garis besar, ditinjau dari segi jumlah pesertanya, Perjanjian Internasional
dibagi lagi ke dalam:
a.
Perjanjian Internasional Bilateral, yaitu Perjanjian
Internasional yang jumlah peserta atau pihak-pihak yang terikat di dalamnya
terdiri atas dua subjek hukum internasional saja (negara dan / atau organisasi
internasional, dsb). Kaidah hukum yang lahir dari perjanjian bilateral
bersifat khusus dan bercorak perjanjian tertutup (closed treaty), artinya kedua
pihak harus tunduk secara penuh atau secara keseluruhan terhadap semua isi atau
pasal dari perjanjian tersebut atau sama sekali tidak mau tunduk sehingga
perjanjian tersebut tidak akan pernah mengikat dan berlaku sebagai hukum
positif, serta melahirkan kaidah-kaidah hukum yang berlaku hanyalah bagi kedua
pihak yang bersangkutan. Pihak ketiga, walaupun mempunyai kepentingan yang sama
baik terhadap kedua pihak atau terhadap salah satu pihak, tidak bisa masuk atau
ikut menjadi pihak ke dalam perjanjian tersebut.
b. Perjanjian
Internasional Multilateral, yaitu Perjanjian Internasional yang peserta
atau pihak-pihak yang terikat di dalam perjanjian itu lebih dari dua subjek
hukum internasional. Sifat kaidah hukum yang dilahirkan perjanjian
multilateral bisa bersifat khusus dan ada pula yang bersifat umum, bergantung
pada corak perjanjian multilateral itu sendiri. Corak perjanjian multilateral
yang bersifat khusus adalah tertutup, mengatur hal-hal yang berkenaan dengan
masalah yang khusus menyangkut kepentingan pihak-pihak yang mengadakan atau
yang terikat dalam perjanjian tersebut. Maka dari segi sifatnya yang khusus
tersebut, perjanjian multilateral sesungguhnya sama dengan perjanjian
bilateral, yang membedakan hanya dari segi jumlah pesertanya
semata. Sedangkan perjanjian multilateral yang bersifat umum, memiliki
corak terbuka. Maksudnya, isi atau pokok masalah yang diatur dalam perjanjian
itu tidak saja bersangkut-paut dengan kepentingan para pihak atau subjek hukum
internasional yang ikut serta dalam merumuskan naskah perjanjian tersebut,
tetapi juga kepentingan dari pihak lain atau pihak ketiga. Dalam konteks
negara, pihak lain atau pihak ketiga ini mungkin bisa menyangkut seluruh negara
di dunia, bisa sebagian negara, bahkan bisa jadi hanya beberapa negara saja.
Dalam kenyatannya, perjanjian-perjanjian multilateral semacam itu memang
membuka diri bagi pihak ketiga untuk ikut serta sebagai pihak di dalam
perjanjian tersebut. Oleh karenanya, perjanjian multilateral yang terbuka ini
cenderung berkembang menjadi kaidah hukum internasional yang berlaku secara
umum atau universal.
2. Perjanjian Internasional ditinjau dari kaidah hukum yang
dilahirkannya
Penggolongan
Perjanjian Internasional dari segi kaidah terbagi dalam 2 (dua) kelompok:
·
Treaty Contract. Sebagai perjanjian khusus atau perjanjian
tertutup, merupakan perjanjian yang hanya melahirkan kaidah hukum atau hak-hak
dan kewajiban-kewajiban yang hanya berlaku antara pihak-pihak yang bersangkutan
saja. Perjanjian ini bisa saja berbentuk perjanjian bilateral maupun perjanjian
multilateral. Perlu menjadi catatan bahwa sebagaimana sifatnya yang khusus
dan tertutup menyangkut kepentingan-kepentingan para pihak yang bersangkutan
saja, maka tidak ada relevansinya bagi pihak lain untuk ikut serta sebagai
pihak di dalamnya dalam bentuk intervensi apapun, maupun relevensinya bagi para
pihak yang bersangkutan untuk mengajak atau membuka kesempatan bagi pihak
ketiga untuk ikut serta di dalamnya.
·
Law Making Treaty. Sebagai perjanjian umum atau perjanjian
terbuka, merupakan perjanjian-perjanjian yang ditinjau dari isi atau kaidah
hukum yang dilahirkannya dapat diikuti oleh subjek hukum internasional lain
yang semula tidak ikut serta dalam proses pembuatan perjanjian
tersebut. Dengan demikian perjanjian itu, ditinjau dari segi isi atau
materinya maupun kaidah hukum yang dilahirkannya tidak saja berkenaan dengan
kepentingan subjek-subjek hukum yang dari awal terlibat secara aktif dalam
proses pembuatan perjanjian tersebut, melainkan juga dapat merupakan
kepentingan pihak-pihak lainnya. Oleh karena itulah dalam konteks subjek
hukumnya adalah negara, biasanya negara-negara perancang dan perumus perjanjian
itu membuka kesempatan bagi negara-negara lain yang merasa berkepentingan untuk
ikut sebagai peserta atau pihak dalam perjanjian tersebut. Semakin bertambah
banyak negara-negara yang ikut serta di dalamnya maka semakin besar pula
kemungkinannya menjadi kaidah hukum yang berlaku umum. Law making treaty
ini pun dapat dijabarkan lagi berdasarkan jenisnya menjadi:
i.
Perjanjian terbuka atau perjanjian umum yang isi atau masalah yang
diaturnya adalah masalah yang menjadi kepentingan beberapa negara saja.
ii.
Perjanjian terbuka atau perjanjian umum yang isi atau masalah yang diatur
di dalamnya merupakan kepentingan sebagian besar atau seluruh negara di dunia.
iii.
Perjanjian terbuka atau umum yang berdasarkan ruang lingkup masalah ataupun
objeknya hanya terbatas bagi negara-negara dalam satu kawasan tertentu saja.
3. Perjanjian Internasional ditinjau dari prosedur atau
tahap pembentukannya
Dari segi prosedur atau tahap pembentukanya Perjanjian Internasional dibagi ke dalam dua kelompok yaitu:
a.
Perjanjian Internasional yang melalui dua tahap. Perjanjian
melalui dua tahap ini hanyalah sesuai untuk masalah-masalah yang menuntut
pelaksanaannya sesegera mungkin diselesaikan. Kedua tahap tersebut meliputi
tahap perundingan (negotiation) dan tahap penandatanganan (signature). Pada
tahap perundingan wakil-wakil para pihak bertemu dalam suatu forum atau tempat
yang secara khusus membahas dan merumuskan pokok-pokok masalah yang
dirundingkan itu. Perumusan itu nantinya merupakan hasil kata sepakat antara
pihak yang akhirnya berupa naskah perjanjian. Selanjutnya memasuki tahap kedua
yaitu tahap penandatangan, maka perjanjian itu telah mempunyai kekuatan
mengikat bagi para pihak yang bersangkutan. Dengan demikian, tahap terakhir
dalam perjanjian dua tahap, mempunyai makna sebagai pengikatan diri dari para
pihak terhadap naskah perjanjian yang telah disepakati itu.
b. Perjanjian Internsional yang melalui tiga tahap. Pada Perjanjian Internasional yang melalui tiga tahap, sama dengan proses Perjanjian Internasionl yang melalui dua tahap, namun pada tahap ketiga ada proses pengesahan (ratification). Pada perjanjian ini penandatangan itu bukanlah merupakan pengikatan diri negara penandatangan pada perjanjian, melainkan hanya berarti bahwa wakil-wakil para pihak yang bersangkutan telah berhasil mencapai kata sepakat mengenai masalah yang dibahas dalam perundingan yang telah dituangkan dalam bentuk naskah perjanjian. Agar perjanjian yang telah di tandatangani oleh wakil-wakil pihak tersebut mengikat bagi para pihak, maka wakil-wakil tersebut harus mengajukan kepada pemerintah negaranya masing-masing untuk disahkan atau diratifikasi. Dengan dilalui tahap pengesahan atau tahap ratifikasi ini, maka perjanjian itu baru berlaku atau mengikat para pihak yang bersangkutan. Ditinjau dari sudut isi maupun materi dari perjanjian yang dibentuk melalui tiga tahap ini, pada umumnya menyangkut hal-hal yang mengandung nilai penting atau prinsipil bagi para pihak yang bersangkutan. Hanya saja kriteria mengenai penting atau tidak pentingnya masalah tersebut, ditentukan sepenuhnya oleh negara-negara yang bersangkutan.
4. Perjanjian Internasional ditinjau dari jangka waktu
berlakunya
Pembedaan
atas Perjanjian Internasional berdasarkan atas jangka waktu berlakunya, secara
mudah dapat diketahui pada naskah perjanjian itu sendiri, sebab dalam beberapa
Perjanjian Internasional hal ini ditentukan secara tegas. Namun demikian, dalam
hal Perjanjian Internasional tersebut tidak secara tegas dan eksplisit
menetapkan batas waktu berlakunya, dibutuhkan pemahaman yang mendalam akan sifat,
maksud dan tujuan perjanjian itu, karena hakikatnya perjanjian itu dimaksudkan
untuk berlaku dalam jangka waktu tertentu atau terbatas. Misalnya, jika objek
yang diperjanjikan itu sudah terlaksana atau terwujud sebagaimana mestinya,
maka perjanjian tersebut berakhir dengan sendirinya. Ada memang
perjanjian-perjanjian yang tidak menetapkan batas waktu berlakunya karena
dimaksudkan berlaku sampai jangka waktu yang tidak terbatas, sepanjang dan
selama perjanjian itu masih dapat memenuhi keinginan para pihak atau masih
mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan umum, namun sesungguhnya perjanjian
ini tetap terbatas, yakni pada kebutuhan dan perkembangan zaman itu sendiri.
Dilihat dari sudut materinya, corak perjanjian ini merupakan perjanjian yang
mengandung kaidah hukum yang penting, terutama bagi para pihak yang
bersangkutan.
· SYARAT – SYARAT SAHNYA PERJANJIAN
Perjanjian
dalam bahasa Belanda disebut overeenkomst, sedangkan hukum perjanjian
disebut overeenkomstenrecht. Suatu perjanjian dinyatakan sah, apabila
memenuhi 4 (empat) syarat sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu
sebagai berikut :
1. Kesepakatan
mereka yang mengikatkan diri.
Kesepakatan
mereka yang mengikatkan diri terjadi secara bebas atau dengan kebebasan.
Kebebasan bersepakat tersebut dapat terjadi secara tegas (mengucapkan
kata/tertulis) atau secara diam (dengan suatu sikap/isyarat). Suatu perjanjian
dikatakan tidak memenuhi unsur kebebasan apabila mengandung salah satu
dari 3 (tiga) unsur di bawah ini, yaitu :
a.
Unsur paksaan (dwang)
Paksaan
ialah paksaan terhadap badan, paksaan terhadap jiwa, serta paksaan lain yang
dilarang oleh undang-undang.
b.
Unsur kekeliruan (dwaling)
Kekeliruan
terjadi dalam 2 (dua) kemungkinan yaitu kekeliruan terhadap orang (subjek
hukum) dan kekeliruan terhadap barang (objek hukum).
c.
Unsur penipuan (bedrog)
Apabila
suatu pihak dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benar.
Suatu
perjanjian yang tidak mengandung kebebasan bersepakat sebab terdapat unsur
paksaan dan/atau unsur kekeliruan, dan/atau unsur penipuan dapat dituntut
pembatalannya sampai batas waktu 5 tahun sebagaimana dimaksud Pasal 1454
KUHPerdata. Baca juga tulisan terkait : “Kesepakatan Dalam
Perjanjian”
2.
Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.
Seseorang
dikatakan cakap hukum apabila telah berumur minimal 21 tahun, atau
apabila belum berumur 21 tahun namun telah melangsungkan perkawinan. Selain itu
seseorang itu tidaklah boleh sedang ditaruh dalam pengampuan (curatele),
yaitu orang yang telah dewasa tetapi dianggap tidak mampu sebab pemabuk, gila,
atau boros. Untuk lebh jelasnya dapat dilihat ketentuan Pasal 1330 KUHPerdata
yang perlu pula dihubungkan dengan Pasal 330 KUHPerdata.
3.
Suatu hal tertentu.
Ketentuan
mengenai hal tertentu menyangkut objek hukum atau mengenai bendanya. Dalam
membuat perjanjian antara para subjek hukum itu menyangkut mengenai objeknya,
apakah menyangkut benda berwujud, tidak berwujud, benda bergerak, atau benda
tidak bergerak. Hal tertentu mengenai objek benda oleh para pihak biasanya
ditegaskan dalam perjanjian mengenai jenis barang, kualitas dan mutu barang,
buatan pabrik dan dari negara mana, jumlah barang, warna barang, dan lain
sebagainya.
4.
Suatu sebab yang halal (causa yang halal).
Sebab
yang halal/causa yang halal mengandung pengertian bahwa pada benda (objek
hukum) yang menjadi pokok perjanjian itu harus melekat hak yang pasti dan
diperbolehkan menurut hukum sehingga perjanjian itu kuat.
Syarat
kesepakatan mereka yang mengikatkan diri dan syarat kecakapan untuk membuat
suatu perikatan disebut sebagai syarat subjektif, yaitu syarat untuk subjek
hukum atau orangnya. Syarat suatu hal tertentu dan syarat suatu sebab yang
halal merupakan syarat objektif, yaitu syarat untuk objek hukum atau bendanya.
· SAAT LAHIRNYA PERJANJIAN DALAM HUKUM PERJANJIAN
Dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata) Pasal
1331 (1) dinyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku
sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya, Artinya, apabila obyek hukum yang
dilakukan tidak berdasarkan niat yang tulus, maka secara otomatis hukum perjanjian
tersebut dibatalkan demi hukum. Sehingga masing-masing pihak tidak mempunyai
dasar penuntutan di hadapan hakim. Akan tetapi, apabila hukum perjanjian tidak
memenuhi unsur subjektif, misalnya salah satu pihak berada dalam pengawasan
dan tekanan pihak tertentu, maka perjanjian ini dapat dibatalkan di hadapan
hakim. Sehingga, perjanjian tersebut tidak akan mengikat kedua belah pihak.
Hukum perjanjian ini akan berlaku apabila masing-masing pihak telah menyepakati
isi perjanjian.
Menetapkan
kapan saat lahirnya perjanjian mempunyai arti penting bagi :
- kesempatan penarikan kembali penawaran;
- penentuan resiko;
- saat mulai dihitungnya jangka waktu kadaluwarsa;
- menentukan tempat terjadinya perjanjian.
Ada beberapa teori yang bisa
digunakan untuk menentukan saat lahirnya perjanjian yaitu:
- Teori Pernyataan (Uitings Theorie)
Menurut teori ini, perjanjian telah
ada/lahir pada saat atas suatu penawaran telah ditulis surat jawaban penerimaan.
Dengan kata lain perjanjian itu ada pada saat pihak lain menyatakan
penerimaan/akseptasinya.
- Teori Pengiriman (Verzending Theori).
Menurut teori ini saat pengiriman
jawaban akseptasi adalah saat lahirnya perjanjian. Tanggal cap pos dapat
dipakai sebagai patokan tanggal lahirnya perjanjian.
- Teori Pengetahuan (Vernemingstheorie).
Menurut teori ini saat lahirnya
perjanjian adalah pada saat jawaban akseptasi diketahui isinya oleh pihak yang
menawarkan.
- Teori penerimaan (Ontvangtheorie).
Menurut teori ini saat lahirnya
kontrak adalah pada saat diterimanya jawaban, tak peduli apakah surat tersebut
dibuka atau dibiarkan tidak dibuka. Yang pokok adalah saat surat tersebut
sampai pada alamat si penerima surat itulah yang dipakai sebagai patokan saat
lahirnya perjanjian.
· Pembatalan dan Pelaksanaan Perjanjian
Pengertian
pembatalan dalam uraian ini mengandung dua macam kemungkinan alasan, yaitu
pembatalan karena tidak memenuhi syarat subyektif, dan pembatalan karena adanya
wanprestasi dari debitur.
Pembatalan
dapat dilakukan dengan tiga syarat yakni:
1) Perjanjian harus bersifat timbale balik (bilateral)
2) Harus ada wanprestasi (breach of contract)
3) Harus dengan putusan hakim (verdict)
1) Perjanjian harus bersifat timbale balik (bilateral)
2) Harus ada wanprestasi (breach of contract)
3) Harus dengan putusan hakim (verdict)
Pelaksanaan
Perjanjian
Yang
dimaksud dengan pelaksanaan disini adalah realisasi atau pemenuhan hak dan
kewajiban yang telah diperjanjikan oleh pihak- pihak supaya perjanjian itu
mencapai tujuannya. Pelaksanaan perjanjian pada dasarnya menyangkut soal
pembayaran dan penyerahan barang yang menjadi objek utama perjanjian. Pembayaran
dan penyerahan barang dapat terjadi secara serentak. Mungkin pembayaran lebih
dahulu disusul dengan penyerahan barang atau sebaliknya penyerahan barang dulu
baru kemudian pembayaran.
Pembayaran
1)
Pihak yang melakukan pembayaran pada dasarnya adalah debitur yang menjadi pihak
dalam perjanjian
2)
Alat bayar yang digunakan pada umumnya adalah uang
3)
Tempat pembayaran dilakukan sesuai dalam perjanjian
4)
Media pembayaran yang digunakan
5)
Biaya penyelenggaran pembayaran
Penyerahan
Barang
Yang
dimaksud dengan lavering atau transfer of ownership adalah penyerahan suatu
barang oleh pemilik atau atas namanya kepada orang lain, sehingga orang lain
ini memperoleh hak milik atas barang tersebut. Syarat- syarat penyerahan barang
atau lavering adalah sebagai berikut:
1)
Harus ada perjanjian yang bersifat kebendaan
2)
Harus ada alas hak (title), dalam hal ini ada dua teori yang sering digunakan
yaitu teori kausal dan teori abstrak
3)
Dilakukan orang yang berwenang mengusai benda
4)
Penyerahan harus nyata (feitelijk)
Penafsiran
dalam Pelaksanaan Perjanjian
Dalam
suatu perjanjian, pihak- pihak telah menetapkan apa- apa yang telah disepakati.
Apabila yang telah disepakati itu sudah jelas menurut kata- katanya, sehingga
tidak mungkin menimbulkan keraguan- keraguan lagi, tidak diperkenankan
memberikan pengewrtian lain. Dengan kata laintidak boleh ditafsirkan lain
(pasal 1342 KUHPdt). Adapun pedoman untuk melakukan penafsiran dalam
pelaksanaan perjanjian, undang- undang memberikan ketentuan- ketentuan sebagai
berikut:
1) Maksud pihak- pihak
2) Memungkinkan janji itu dilaksanakan
3) Kebiasaan setempat
4) Dalam hubungan perjanjian keseluruhan
5) Penjelasan dengan menyebutkan contoh
6) Tafsiran berdasarkan akal sehat
2) Memungkinkan janji itu dilaksanakan
3) Kebiasaan setempat
4) Dalam hubungan perjanjian keseluruhan
5) Penjelasan dengan menyebutkan contoh
6) Tafsiran berdasarkan akal sehat
BAB 6 & 7
HUKUM DAGANG ( KUHD )
·
HUBUNGAN HUKUM DAGANG DAN HUKUM
PERDATA
Hubungan Hukum Dagang dan Hukum Perdata
Hukum Perdata adalah ketentuan yang mengatur hak-hak dan kepentingan antara individu-individu dalam masyarakat. Berikut beberapa pengartian dari Hukum Perdata:
1. Hukum Perdata adalah rangkaian peraturan-peraturan hukum yang mengatur hubungan hukum antara orang yang satu dengan orang yang lain dengan menitik beratkan pada kepentingan perseorangan
2. Hukum Perdata adalah ketentuan-ketentuan yang mengatur dan membatasi tingkah laku manusia dalam memenuhi kepentingannya.
3. Hukum Perdata adalah ketentuan dan peraturan yang mengatur dan membatasi kehidupan manusia atau seseorang dalam usaha untuk memenuhi kebutuhan atau kepentingan hidupnya.
Hukum dagang ialah hukum yang mengatur tingkah laku manusia yang turut melakukan perdagangan untuk memperoleh keuntungan . atau hukum yang mengatur hubungan hukum antara manusia dan badan-badan hukum satu sama lainnya dalam lapangan perdagangan . Sistem hukum dagang menurut arti luas dibagi 2 : tertulis dan tidak tertulis tentang aturan perdagangan.
Hukum Dagang Indonesia terutama bersumber pada :
1) Hukum tertulis yang dikofifikasikan :
a. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) atau Wetboek van Koophandel Indonesia (W.v.K)
b. Kitab Undang-Undang Hukum Sipil (KUHS) atau Burgerlijk Wetboek Indonesia (BW)
2) Hukum tertulis yang belum dikodifikasikan, yaitu
peraturan
perundangan khusus yang mengatur tentang hal-hal yang berhubungan dengan
perdagangan (C.S.T. Kansil, 1985 : 7).
Sifat hukum dagang yang merupakan perjanjian yang mengikat pihak-pihak yang mengadakan perjanjian.
Pada awalnya hukum dagang berinduk pada hukum perdata. Namun, seirinbg berjalannya waktu hukum dagang mengkodifikasi(mengumpulkan) aturan-aturan hukumnya sehingga terciptalah Kitab Undang-Undang Hukum Dagang ( KUHD ) yang sekarang telah berdiri sendiri atau terpisah dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ( KUHPer ).
Antara KUHperdata dengan KUHdagang mempunyai hubungan yang erat. Hal ini dapat dilihat dari isi Pasal 1KUhdagang, yang isinya sebagai berikut:
Adapun mengenai hubungan tersebut adalah special derogate legi generali artinya hukum yang khusus: KUHDagang mengesampingkan hukum yang umum: KUHperdata.
Prof. Subekti berpendapat bahwa terdapatnya KUHD disamping KUHS sekarang ini dianggap tidak pada tempatnya. Hali ini dikarenakan hukum dagang relative sama dengan hukum perdata. Selain itu “dagang” bukanlah suatu pengertian dalam hukum melainkan suatu pengertian perekonomian. Pembagian hukum sipil ke dalam KUHD hanyalah berdasarkan sejarah saja, yaitu karena dalam hukum romawi belum terkenal peraturan-peraturan seperti yang sekarang termuat dalah KUHD, sebab perdagangan antar Negara baru berkembang dalam abad pertengahan.
Sifat hukum dagang yang merupakan perjanjian yang mengikat pihak-pihak yang mengadakan perjanjian.
Pada awalnya hukum dagang berinduk pada hukum perdata. Namun, seirinbg berjalannya waktu hukum dagang mengkodifikasi(mengumpulkan) aturan-aturan hukumnya sehingga terciptalah Kitab Undang-Undang Hukum Dagang ( KUHD ) yang sekarang telah berdiri sendiri atau terpisah dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ( KUHPer ).
Antara KUHperdata dengan KUHdagang mempunyai hubungan yang erat. Hal ini dapat dilihat dari isi Pasal 1KUhdagang, yang isinya sebagai berikut:
Adapun mengenai hubungan tersebut adalah special derogate legi generali artinya hukum yang khusus: KUHDagang mengesampingkan hukum yang umum: KUHperdata.
Prof. Subekti berpendapat bahwa terdapatnya KUHD disamping KUHS sekarang ini dianggap tidak pada tempatnya. Hali ini dikarenakan hukum dagang relative sama dengan hukum perdata. Selain itu “dagang” bukanlah suatu pengertian dalam hukum melainkan suatu pengertian perekonomian. Pembagian hukum sipil ke dalam KUHD hanyalah berdasarkan sejarah saja, yaitu karena dalam hukum romawi belum terkenal peraturan-peraturan seperti yang sekarang termuat dalah KUHD, sebab perdagangan antar Negara baru berkembang dalam abad pertengahan.
·
BERLAKUNYA HUKUM DAGANG
Perkembangan hokum dagang sebenarnya telah di mulai sejak abad pertengahan eropa (1000/ 1500) yang terjadi di Negara dan kota-kota di Eropa dan pada zaman itu di Italia dan perancis selatan telah lahir kota-kota sebagai pusat perdagangan (Genoa, Florence, vennetia, Marseille, Barcelona dan Negara-negara lainnya ) . tetapi pada saat itu hokum Romawi (corpus lurus civilis ) tidak dapat menyelsaikan perkara-perkara dalam perdagangan , maka dibuatlah hokum baru di samping hokum Romawi yang berdiri sendiri pada abad ke-16 & ke- 17 yang berlaku bagi golongan yang disebut hokum pedagang (koopmansrecht) khususnya mengatur perkara di bidang perdagangan (peradilan perdagangan ) dan hokum pedagang ini bersifat unifikasi.
Karena bertambah pesatnya hubungan dagang maka pada abad ke-17 diadakan kodifikasi dalam hokum dagang oleh mentri keuangan dari raja Louis XIV (1613-1715) yaitu Corbert dengan peraturan (ORDONNANCE DU COMMERCE) 1673. Dan pada tahun 1681 disusun ORDONNANCE DE LA MARINE yang mengatur tenteng kedaulatan.
Dan pada tahun 1807 di Perancis di buat hokum dagang tersendiri dari hokum sipil yang ada yaitu (CODE DE COMMERCE ) yang tersusun dari ordonnance du commerce (1673) dan ordonnance du la marine(1838) . Pada saat itu Nederlands menginginkan adanya hokum dagang tersendiri yaitu KUHD belanda , dan pada tahun 1819 drencanakan dalam KUHD ini ada 3 kitab dan tidak mengenal peradilan khusus . lalu pada tahun 1838 akhirnya di sahkan . KUHD Belanda berdasarkan azas konkordansi KUHD belanda 1838 menjadi contoh bagi pemmbuatan KUHD di Indonesia pada tahun 1848 . dan pada akhir abad ke-19 Prof. molengraaff merancang UU kepailitan sebagai buku III di KUHD Nederlands menjadi UU yang berdiri sendiri (1893 berlaku 1896).Dan sampai sekarang KUHD Indonesia memiliki 2 kitab yaitu , tentang dagang umumnya dan tentang hak-hak dan kewajiban yang tertib dari pelayaran.
·
HUBUNGAN PENGUSAHA DAN PEMBANTUNYA
Ketentuan- ketentuan Undang- Undang
Timbulnya perikatan dalam hal ini bukan dikarenakan karena adanya suatu persetujuan atupun perjanjian, melainkan dikarenakan karena adanya undang- undang yang menyatakan akibat perbuatan orang, lalu timbul perikatan. Perikatan yang timbul karena undang- undang ini ada dua sumbernya, yaitu perbuatan orang dan undang- undang sendiri. Perbuatan orang itu diklasifikasikanlagi menjadi dua, yaitu perbuatan yang sesuai dengan hukum dan perbuatan yang tidak sesuai dengan hukum (pasal 1352 dan 1353 KUHPdt). Perikatan yang timbul dari perbuatan yang sesuai dengan hukum ada dua, yaitu wakil tanpa kuasa (zaakwarneeming) diatur dalam pasal 1354 sampai dengan pasal 1358 KUHPdt, pembayaran tanpa hutang (onverschuldigde betalling) diatur dalam pasal 1359 sampai dengan 1364 KUHPdt. Sedangkan perikatan yang timbul dari perbuatan yang tidak sesuai dengan hukum adalah perbuatan yang tidak sesuai dengan hukum adalah perbuatan melawan hukum (onrechtmatigdaad) diatur dalam pasal 1365 sampai dengan 1380 KUHPdt.
Perbuatan melawan hukum dapat ditujukan kepada harta kekayaan orang laindan dapat ditujukan kepada diri pribadi orang lain, perbuatan mana mengakibatkankerugian pada orang lain. Dalam hukum anglo saxon, perbuatan melawan hukum disebut tort. Untuk mengetahui apakah perbuatan hukum itu disebut wakil tanpa kuasa, maka perlu dilihat unsure- unsure yang terdapat didalamnya, unsure- unsure tersebut adalah :
1) Perbuatan itu dilakukan dengan sukarela, artinya atas kesadaran sendiri tanpa mengharapkan suatu apapun sebagai imbalannya.
2) Tanpa mendapat kuasa (perintah), artinya yang melakukan perbuatan itu bertindak atas inisiatif sendiri tanpa ada pesan, perintah, atau kuasa dari pihak yang berkepentingan baik lisan maupun tulisan.
3) Mewakili urusan orang lain, artinya yang melakukan perbuatan itu bertindak untuk kepentingan orang lain, bukan kepentingan sendiri.
4) Dengan atau tanpa pengetahuan orang itu, artinya orang yang berkepentingan itu tidak mengetahui bahwa kepentingannya dikerjakan orang lain.
5) Wajib meneruskan dan menyelesaikan urusan itu, artinya sekali ia melakukan perbuatan untuk kepentingan orang lain itu, ia harus mengerjakan sampai selesai, sehingga orang yang diwakili kepentingannya itu dapat menikmati manfatnya atau dapat mengerjakan segala sesuatu yang termasuk urusan itu.
6) Bertindak menurut hukum, artinya dalam melakukan perbuatan mengurus kepentingan itu, harus dilakukan berdasarkan kewajiban menurut hukum. Atau bertindak tidak bertentangan dengan undang- undang.
Hak dan kewajiban pihak- pihak Karena perikatan ini timbul berdasarkan ketentuan undang- undang, maka hak dan kewajiban tersebut dapat diperinci sebagai tersebut di bawah ini :
1) Hak dan kewajiban yang mewakili, ia berkewajiban mengerjakan segala sesuatu yang termasuk urusan itu sampai selesai, dengan memberikan pertanggungjawaban.
2) Hak dan kewajiban yang diwakili, yang diwakili atau yang berkepentingan berkewajiban memenuhi perikatan yang dibuat oleh wakil itu atas namanya, membayar ganti rugi, atau pengeluaran yang telah dipenuhi oleh pihak yang mengurus kepentingan itu.
Pembayaran Tanpa Hutang
Menurut ketentuan pasal 1359 KUHPdt, setiap pembayaran yang ditujukan untuk melunasi suatu hutang, tetapi ternyata tidak ada hutang, pembayaran yang telah dilakukan itu dapat dituntut kembali. Ketentuan ini jelas memberikan kepastian bahwa orang yang memperoleh kekayaan tanpa hak itu seharusnya bersedia mengembalikan kekayaan yang telah diserahkan kepadanya karena kekeliruan atau salah perkiraan. Dikira ada hutang tetapi sebenarnya tidak ada hutang. Pembayaran yang dilakukan itu sifatnya sukarela, melainkan karena kewajiban yang harus dipenuhi sebagaimana mestinya dalam kehidupan bermasyarakat. Tetapi kemudian ternyata bahwa perikatan yang dikira ada sebenarnya tidak ada. Dengan demikian ada kewajiban undang- undang bagi pihak yang menerima pembayaran itu yang mengembalikan pembayaran yang telah ia terima tanpa perikatan.
Perbuatan Melawan Hukum(onrechtmatige Daad) Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan perbuatan melawan hukum, kita lihat pasal 1365 KUHPdt yang berbunyi sebagai berikut :
“ Tiap perbuatan melawan hukum, yang menimbulkan kerugian pada orang lain, mewajibkan orang yang bersalah menimbulkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”.
Dari ketentuan pasal ini dapat diketahui bahwa suatu perbuatan itu diketahui bahwa suatu perbuatan itu dikatakan melawan hukum apabila ia memenuhi empat unsure sebagai berikut :
1) Perbuatan itu harus melawan hukum
2) Perbuatan itu harus menimbulkan kerugian
3) Perbuatan itu harus dilakukan dengan kesalahan
4) Antara perbuatan dan kerugian yang timbulharus ada hubungan kausal
Perbuatan Melawan Hukum Terhadap Diri Pribadi
Perbuatan melawan hukum dapat ditujukan pada benda milik orang lain.
Jika ditujukan pada diri pribadi orang lain.
Jika ditujukan pada diri pribadi orang lain mungkin dapat menimbulkan kerugian
pisik ataupun kerugian nama baik(martabat). Kerugian pisik atau jasmani
misalnya luka, cedera, cacat tubuh. Perbuatan melawan hukum yang menimbulkan
kerugian pisik atau jasmani banyak diatur dalam perundangan- undangan di luar
KUHPdt, misalnya undang- undang perburuhan.
apabila seseorang mengalami luka atau cacat pada salah satu anggota badan dikarenakan kesengajaan atau kurang hati- hati pihak lain, undang- undang memberikan hak kepada korban untuk memperoleh penggantian biaya pengobatan, ganti kerugian atau luka atau cacat tersebut. Ganti kerugian ini dinilai menurut kedudukan dan kemampuan kedua belah pihak dan menurut keadaan. Penghinaan adalah perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan, jadi dapat dimasukkan perbuatan melawan hukum pencemaran nama baik seseorang. Lain daripada itu, yang terhina dapat menuntut supaya dalam putusan itu juga dinyatakan bahwa perbutan yang telah dilakukan itu adalah memfitnah. Dengan demikian, berlakulah ketentuan pasal 314 KUHP penuntutan perbuatan pidana memfitnah. Perkara memfitnah ini diperiksa dan diputus oleh hakim pidana(pasal 1373 KUHPdt).
Perbuatan Melawan Hukum yang Dilakukan Oleh Badan Hukum
Sering sekali orang mengatakan bahwa apakah badan hukum itu dapat melakukan kesalahan atau perbuatan melawan hukum. Alasannya , karena badan hukum tidak dapat melakukan kesalahan dan tidak dapat dipertanggungjawabkan dalam lapangan hukum pidana, seperti halnya manusia pribadi. Untuk menjawab pertanyaan- pertanyaan tersebut, lebih dahulu perlu dikemukakan berbgai teori mengenai bdan hukum ada 3 macam yaitu:
1) Teori fictie(perumpamaan), menurut teori ini badan hukum itu diperumpamakan sebagai manusia, terpisah dari manusia yang menjadi pengurusnya. Atas dasar ini badan hukum tidak dibuat secara langsung, melainkan melalui perbuatan orang, yaitu pengurusnya. Dengan demikian berdasarkan teori fictie ini, badan hukum yang melakukan perbuatan hukum dapat digugat tidak melalui pasal 1365, melainkan melalui pasal 1367 KUHPdt. Jika mengikuti teori fictie ini kita dihadapkan pada keadaan yang bertentangan dengan kenyataan.
2) Teori orgaan (perlengkapan), menurut teori ini, badan hukum itu sama dengan manusia pribadi, dapat melakukan perbuatan hukum.
3) Teori yurisdische realiteit, menurut teori ini, badan hukum adalah realitas yuridis yang dibentuk dan diakui sama seperti manusia pribadi.
Badan Hukum Perdata dan Publik
Ada dua macam badan hukum dilihat dari sudut pembentukannya, yaitu badan hukum pidana dan badan hukum public. Badan hukum perdata dibentuk berdasarkan hukum perdata, sedangkan pengesahannya dilakukan pleh pemerintah. Yang disahkan itu pada umumnya adalah anggaran dasar badan hukum itu. Pengesahan dilakukan dengan pendaftaran anggaran dasar kepada pejabat yang berwenang, pengesahan tersebut diperlukan supaya badan hukum yang dibentuk itu tidak bertentangan dengan kepentingan umum, kesusilaan, dan tidak dilarang oleh undang- undang.
Badan
hukum perdata ini misalnya, perseroan terbatas, yayasan .koperasi. Badan Hukum
public dibentuk dengan undang- undang oleh pemerintah. Badan hukum public ini
merupakan badan- badan kenegaraan, misalnya Negara republic Indonesia, daerah
Tiongkok I, daerah tingkat II, dan lain- lain. Badan hukum public ini dibentuk
untuk menyelenggarakan pemerintahan Negara. Dalam menjalankan pemerintah Negara
badan hukum public harus berdasarkan undang- undang. Jika dalam menjalankan
tugasnya, badan hukum public itu melakukan perbuatan melawan hukum, ia dapat
digugat berdasarkan pasal 1365 KUHPdt.
Yang perlu diperhatikan adalah bahwa badan hukum public dalam menjalankan kekuasaannya itu mungkin merugikan orang lain dengan alasan menjalankan undang- undang. Maka dalam hal ini perlu dibedakan antara kebijaksanaan dan pelanggaran undang- undang. Dalam hal ini hakim yang akan menentukan. Namun demikian, jika perbuatan yang dilakukan itu adalah kebijaksanaan penguasa(pemerintah), ini bukan lagi wewenang hakim, karena sudah masuk dalam bidang politik.
Yang perlu diperhatikan adalah bahwa badan hukum public dalam menjalankan kekuasaannya itu mungkin merugikan orang lain dengan alasan menjalankan undang- undang. Maka dalam hal ini perlu dibedakan antara kebijaksanaan dan pelanggaran undang- undang. Dalam hal ini hakim yang akan menentukan. Namun demikian, jika perbuatan yang dilakukan itu adalah kebijaksanaan penguasa(pemerintah), ini bukan lagi wewenang hakim, karena sudah masuk dalam bidang politik.
Komparasi Antara Perikatan yang timbul Karena Perjanjian dengan Perikatan yang Timbul Karena Undang- Undang Sebagaimana telah diterangkan, suatu perikatan dapat lahir dari undang-undang atau dari perjanjian/ persetujuan. Yang dimaksud dengan perikatan yang lahir dari undang- undang saja ialah perikatan- perikatan yang timbul akibathubungan kekeluargan. Perikatan yang lahir dari undang- undang karena suatu perbuatan yang diperbolehkan adalah pertama timbul jika seseorang melakukan sesuatu. Sedangkan perikatan yang terjadi karena persetujuan atau perjanjian kedua belah pihak harus mempunyai kemauan yang bebas untuk mengikatkan diri dan kemauan itu harus dinyatakan. Pernyataan dapat dilakukan dengan tegas atau secara diam- diam. Cara yang belakangan, sangat lazim dalam kehidupan sehari- hari
·
BENTUK-BENTUK BADAN USAHA
Badan Usaha adalah kesatuan yuridis (hukum),
teknis, dan ekonomis yang bertujuan mencari laba atau keuntungan. Badan Usaha
seringkali disamakan dengan perusahaan, walaupun pada kenyataannya berbeda.
Perbedaan utamanya, Badan Usaha adalah lembaga sementara perusahaan adalah
tempat dimana Badan Usaha itu mengelola faktor-faktor produksi. Dibawah ini
adalah contoh dari bentuk-bentuk badan usaha ;
A. Koperasi
Koperasi
adalah badan usaha yang berlandaskan asas-asas kekeluargaan. Koperasi adalah
badan usaha yang beranggotakan orang-seorang atau badan hukum Koperasi dengan
melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip Koperasi sekaligus sebagai gerakan
ekonomi rakyat yang berdasar atas asas kekeluargaan.
Macam-macam koperasi;
- Koperasi Koperasi Primer adalah Koperasi yang didirikan oleh dan beranggotakan orang-seorang.
- Koperasi Sekunder adalah Koperasi yang didirikan oleh dan beranggotakan Koperasi.
B. Perusahaan Perseroan (Persero)
Perusahaan
persero adalah BUMN yang berbentuk perseroan terbatas (PT)
yang modal/sahamnya paling sedikit 51% dimiliki oleh pemerintah, yang tujuannya
mengejar keuntungan. Maksud dan tujuan mendirikan persero ialah untuk
menyediakan barang dan atau jasa yang bermutu tinggi dan berdaya saing kuat dan
mengejar keuntungan untuk meningkatkan nilai perusahaan. Ciri-ciri Persero
adalah sebagai berikut:
- Pendirian persero diusulkan oleh menteri kepada presiden
- Pelaksanaan pendirian dilakukan oleh mentri dengan memperhatikan perundang-undangan
- Statusnya berupa perseroan terbatas yang diatur berdasarkan undang-undang
- Modalnya berbentuk saham
- Sebagian atau seluruh modalnya adalah milik negara dari kekayaan negara yang dipisahkan
- Organ persero adalah RUPS, direksi dan komisaris
- Menteri yang ditunjuk memiliki kuasa sebagai pemegang saham milik pemerintah
- Apabila seluruh saham dimiliki pemerintah, maka menteri berlaku sebagai RUPS, jika hanya sebagian, maka sebagai pemegang saham perseroan terbatas
- RUPS bertindak sebagai kekuasaan tertinggi perusahaan
- Dipimpin oleh direksi
- Laporan tahunan diserahkan ke RUPS untuk disahkan
- Tidak mendapat fasilitas negara
- Tujuan utama memperoleh keuntungan
- Hubungan-hubungan usaha diatur dalam hukum perdata
Contoh
perusahaan yang mempunyai badan usaha Persero antara lain:
- PT Garuda Indonesia Airways (Persero)
- PT Angkasa Pura (Persero)
- PT Pertamina (Persero)
- PT Tambang Bukit Asam (Persero)
- PT Aneka Tambang (Persero)
- PT PELNI (Persero)
- PT Perusahaan Listrik Negara (Persero)
- PT Pos Indonesia (Persero)
- PT Kereta Api Indonesia (Persero)
- PT Telkom (Persero)
C. Yayasan
Yayasan adalah suatu
badan usaha, tetapi tidak merupakan perusahaan karena tidak mencari keuntungan.
Badan usaha ini didirikan untuk sosial dan berbadan hukum
Sumber
: