IFRS (International
Financial Reporting Standard)
IFRS (International Financial Reporting
Standards) merupakan standar akuntansi internasional yang diterbitkan oleh
International Accounting Standard Board (IASB). Standar Akuntansi Internasional
disusun oleh empat organisasi utama dunia yaitu Badan Standar Akuntansi
Internasional (IASB), Komisi Masyarakat Eropa (EC), Organisasi Internasional
Pasar Modal (IOSOC), dan Federasi Akuntansi Internasional (IFAC). International
Accounting Standar Board (IASB) yang dahulu bernama International Accounting
Standar Committee (IASC), merupakan lembaga independen untuk menyusun standar
akuntansi. Organisasi ini memiliki tujuan mengembangkan dan mendorong
penggunaan standar akuntansi global yang berkualitas tinggi, dapat dipahami dan
dapat diperbandingkan (Choi et al., 1999). Natawidyana (2008) menyatakan bahwa
sebagian besar standar yang menjadi bagian dari IFRS sebelumnya merupakan
International Accounting Standars (IAS). IAS diterbitkan antara tahun 1973
sampai dengan 2001 oleh IASC. Pada bulan April 2001, IASB mengadopsi seluruh
IAS dan melanjutkan pengembangan standar yang dilakukan.
Tujuan
IFRS adalah memastikan bahwa laporan keuangan yang disajikan untuk
periode-periode yang dimaksud dalam laporan keuangan mengandung informasi
berkualitas tinggi. Penerapan IFRS tentunya akan berdampak pada laporan
keuangan dan kinerja manajemen perusahaan. Ball, et al (2003) menyatakan bahwa
mengadopsi standar yang berkualitas dibutuhkan untuk menghasilkan informasi
yang berkualitas. Informasi yang berkualitas mengurangi kesempatan manajerial
untuk melakukan diskresi akuntansi atau praktik earnings management (Ewert and
Wagenhofer,2005). Kualitas yang lebih tinggi sebagai persyaratan pengungkapan
dan pelaporan keuangan yang mengikuti adopsi IFRS akan cenderung menurunkan
potensi manajemen laba dan kebijaksanaan manajerial (Leuz &Verrecchia,
2000; Ashbaugh & Pincus, 2001; Leuz, 2003).
Adopsi
IFRS di Indonesia
Harmonisasi
standar akuntansi dan pelaporan keuangan telah dianggap sebagai suatu hal yang
mendesak yang harus dilakukan oleh setiap negara berkembang termasuk Indonesia.
Manfaat utama yang diperoleh dari harmonisasi standar akuntansi dan pelaporan
keuangan adalah adanya pemahaman yang lebih baik atas laporan keuangan oleh
pengguna laporan keuangan yang berasal dari berbagai negara. Hal ini tentunya
memudahkan suatu perusahaan menjual sahamnya secara lintas negara atau lintas
pasar modal.
Berdasarkan
pengalaman negara-negara pengadopsi penuh IFRS, adopsi dilakukan dengan dua
cara, yaitu dengan cara sekaligus atau dengan pendekatan ‘big-bang’ dan dengan
cara gradual (Purba, 2010). Berdasarkan proposal konvergensi yang telah
dikeluarkan oleh IAI, proses adopsi dibagi dalam tiga tahap.
Pada
2011 tahap persiapan akhir dilakukan dengan menyelesaikan seluruh infrastruktur
yang diperlukan. Pada 2012 dilakukan penerapan pertama kali PSAK yang sudah
mengadopsi IFRS. Dengan mengadopsi IFRS ini, Indonesia diperkirakan akan
memperoleh manfaat sebagai berikut:
1
Meningkatkan kualitas
standar akuntansi keuangan (SAK)
2
Mengurangi biaya SAK
3
Meningkatkan
kredibilitas dan kegunaan laporan keuangan
4
Meningkatkan
komparabilitas pelaporan keuangan
5
Meningkatkan
transparansi keuangan
6
Menurunkan biaya modal
dengan membuka peluang
7
penghimpunan dana
melalui pasar modal
8
Meningkatkan efisiensi
penyusunan laporan keuangan.
Hal-hal
yang tidak diatur standar akuntansi internasional, DSAK akan terus
mengembangkan standar akuntansi keuangan untuk memenuhi kebutuhan nyata di
Indonesia, terutama standarakuntansi keuangan untuk transaksi syariah, dengan
semakin berkembangnya usaha berbasis syariah di tanah air. Purba (2010)
menyatakan landasan konseptual untuk akuntansi transaksi syariah telah disusun
oleh DSAK dalam bentuk Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan
Syariah. Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan untuk transaksi syariah akan
dimulai dari nomor 101 sampai dengan 200.
Indonesia telah melakukan pengadopsian
penuh IFRS ke dalam standar laporan keuangan sejak 1 Januari 2012. Perbedaan
mendasar antara PSAK berbasis IFRS dengan PSAK berbasis US GAAP adalah PSAK
yang semula berdasarkan historical cost mengubah paradigmanya menjadi fair
value based. Terdapat kewajiban dalam pencatatan pembukuan mengenai penilaian
kembali keakuratan berdasarkan nilai kini atas suatu aset, liabilitas dan
ekuitas. Fair value based mendominasi perubahan-perubahan di PSAK untuk
konvergensi ke IFRS selain hal-hal lainnya.Sebagai contoh perlunya dilakukan
penilaian kembali suatu aset, apakah terdapat penurunan nilai atas suatu aset
pada suatu tanggal pelaporan. Hal ini untuk memberikan keakuratan atas suatu
laporan keuangan. Selain itu, PSAK yang semula lebih berdasarkan rule based
(sebagaimana USGAAP) berubah menjadi prinsiple based. Rule based adalah saat
segala sesuatu menjadi jelas diatur batasan-batasannya. Sebagai contoh adalah
saat sesuatu materialitas ditentukan misalkan di atas 75 persen dianggap
material dan ketentuan-ketentuan jelas lainnya. IFRS menganut prinsiple based
di mana yang diatur dalam PSAK untuk mengadopsi IFRS adalah prinsip-prinsip yang
dapat dijadikan bahan pertimbagan akuntan/manajemen perusahaan sebagai dasar
acuan untuk kebijakan akuntansi perusahaan.
SEBELUM
DAN SESUDAH IFRS
Penelitian-penelitian tentang
pengadopsian IFRS sudah dilakukan oleh beberapa peneliti namun penelitian yang berfokus
kepada kualitas akuntansi dalam periode pengadopsian penuh IFRS pada suatu
perusahaan atau suatu negara masih terbatas. Adapun penelitian terdahulu adalah
sebagai berikut :
Barth,
Landsman dan Lang (2007) meneliti perusahaan yang menerapkan IAS memiliki
kecenderungan berkurangnya manajemen laba, pengakuan kerugian lebih tepat waktu
dan memiliki nilai relevansi yang tinggi. Sampel penelitian ini terdiri dari
perusahaan-perusahaan yang ada pada 23 negara mulai tahun 1994 – 2003. Selain
itu penelitian ini juga menguji pengaruh pengunaan Standar Akuntansi
Internasional dengan biaya modal (cost of capital) perusahaan. Dalam penelitian
mereka menemukan 2 bagian yaitu setelah dan sebelum periode adopsi. Periode
setelah mengadopsi IAS perusahaan yang mengadopsi Standar Akuntansi
Internasional cenderung memiliki manajemen laba yang lebih rendah dibandingkan
perusahaan yang tidak mengadopsi Standar Akuntansi Internasional, perusahaan
yang mengadopsi IAS cenderung lebih konservatif dibanding dengan perusahaan
yang tidak mengadopsi IAS dan memiliki tingkat relevansi nilai yang lebih
tinggi
Ratieh
Widhiastuti (2011) meneliti perbedaan pengaruh laba, nilai buku ekuitas, dan
interaksi kedua variabel tersebut dengan manajemen laba terhadap harga saham
antara perusahaan yang menggunakan PSAK dan IFRS. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa sampel yang menggunakan PSAK variabel laba dan nilai buku ekuitas secara
individu tidak memiliki pengaruh terhadap harga saham dan manajemen laba
mengakibatkan penurunan relevansi nilai namun keduanya tidak berpengaruh
terhadap harga saham. Pada kelompok sampel yang sudah konvergensi IFRS
diperoleh hasil bahwa variabel laba dan nilai buku ekuitas berpengaruh positif
terhadap harga saham. Dari hasil uji chow test diketahui bahwa terdapat
perbedaan signifikan antara pengaruh laba, nilai buku ekuitas, dan interaksinya
dengan manajemen laba terhadap harga saham antara perusahaan manufaktur yang
menggunakan PSAK dan IFRS.
Barth,
Landsman, Lang dan Williams (2008) meneliti perbandingan kualitas akuntansi
yang berpotensi relevan antara perusahaan AS yang menggunakan IAS dan GAAP.
Hasil penelitian menunjukkan perusahaan AS yang menggunakan GAAP memiliki
kualitas akuntansi yang lebih tinggi ditunjukkan dengan manajemen laba lebih
sedikit, relevansi nilai informasi yang lebih tinggi dan pengakuan kerugian
yang lebih tepat waktu daripada perusahaan AS yang menggunakan IAS.
Glory
A. M. Sianipar (2013) meneliti perbandingan kualitas akuntansi sebelum dan
sesudah adopsi penuh IFRS pada perusahaan manufaktur di Indonesia. Hasil
penelitian menunjukkan tidak ada perbedaan kualitas akuntansi yang ditunjukkan
dengan manajemen laba, relevansi nilai dan pengakuan kerugian tepat waktu yang
tidak berbeda.
Sebuah
penelitian yang dilakukan oleh Cai, et.al (2008) tentang pengaruh IFRS dan
pelaksanaannya dalam earnings management dengan meneliti lebih dari 100.000
perusahaan di 32 negara dari tahun 2000 sampai tahun 2006, hasilnya menemukan
bahwa earnings management di negara yang mengadopsi IFRS menurun pada
tahun-tahun terakhir. Hasil dari penelitian ini juga mengindikasikan bahwa
negara dengan pelaksanaan IFRS yang lebih kuat memiliki tingkat earnings
management yang lebih rendah. Hasil ini tentu mendukung pendapat pendukung IFRS
bahwa dengan diadopsinya IFRS, maka earnings management akan berkurang. Sejalan
dengan kesimpulan tersebut, di Eropa juga dilakukanpenelitian serupa oleh Chen,
et.al (2010) tentang peran IFRS terhadap peningkatan kualitas akuntansi. Penelitian
ini menggunakan indikator discretionary accrual untuk mengukur earnings
management, dimana earnings management tersebut adalah proxy dari kualitas
akuntansi. Semakin rendah earnings management mengindikasikan bahwa akuntansi
semakin berkualitas. Menggunakan analisis regresi, penelitian ini menghasilkan
kesimpulan bahwa negara-negara yang mengadopsi IFRS memiliki angka
discretionary accrual yang rendah, yang berarti juga kualitas akuntansinya
lebih baik.
Salah
satu negara di Eropa yang telah melakukan adopsi IFRS adalah Jerman. Penelitian
dilakukan oleh Gassen dan Sellhorn (2006) dengan tiga tujuan: pertama,
menganalisis determinan dari penerapan IFRS secara sukarela (voluntary) oleh
perusahaan terbuka di Jerman pada periode 1998-2004, ditemukan bahwa ukuran
perusahaan, keterbukaan internasional, ketersebaran kepemilikan, dan IPO
terakhir adalah faktor penentu yang penting. Kedua, menggunakan
determinan-determinan tersebut, ditemukan adanya perbedaan signifikan pada
kualitas akuntansi: perusahaan yang mengadopsi IFRS memiliki laba atau earnings
yang lebih tetap/persisten, kurang dapat diprediksi, dan lebih konservatif
secara kondisional. Ketiga, menganalisis perbedaan asimetri informasi antara
perusahaan yang mengadopsi IFRS dengan perusahaan yang menggunakan German GAAP,
dan ditemukan bahwa perusahaan yang mengadopsi IFRS mengalami penurunan dalam
persebaran penawaran. Di sisi lain, perusahaan pengadopsi IFRS cenderung
memiliki harga saham yang volatile.
Di
negara yang dinilai cukup stabil perekonomiannya meskipun dunia sedang dilanda
krisis global seperti Australia, telah diteliti pengaruh dari mandatory IFRS
terhadap kualitas akuntansi, dan ditemukan bahwa The mandatory adoption dari
IFRS di Australia menghasilkan kualitas akuntansi yang lebih baik. Asumsi yang
dibangun dalam penelitian ini adalah Australia negara stabil, tidak terpengaruh
krisis ekonomi global, sehingga hasil penelitian dapat menghasilkan kesimpulan
yang valid tanpa ada pengaruh dari krisis global. Penelitian yang bersampel
perusahaan-perusahaan di Australia membandingkan kualitas akuntansi pada saat
sebelum mengadopsi IFRS dan setelah mengadopsi IFRS, dan hasilnya diketahui
bahwa ternyata kualitas akuntansi lebih tinggi ketika perusahaan mengadopsi
IFRS, yang dalam hal ini bersifat mandatory (Elias, 2012).
Sebanyak
654 perusahaan di China diteliti oleh Hong (2008), di masa yang lalu masih
menggunakan Chinese GAAP kemudian bertransisi ke IFRS. Penelitian ini
menghitung nilai absolut dari discretionary accrual untuk mengukur earnings
management yang mencerminkan kualitas laporan keuangan. Di pasar China, laporan
keuangan yang mengindikasikan “bad news” lebih informatif ketika disajikan
dalam IFRS yang principles based. Dari sini didapatkan informasi bahwa
penyajian laporan keuangan menggunakan IFRS membuat informasi perusahaan
menjadi lebih berguna. Penelitian lain yang dilakukan oleh Wang (2012) di
negara yang sama, justru memberikan bukti yang lemah bahwa IFRS memiliki
pengaruh signifikan terhadap kualitas akuntansi. Dengan mengimplementasikan
IFRS, earnings management menjadi lebih rendah daripada saat China
mengimplementasikan Chinese GAAP, tetapi penelitian ini belum memberikan bukti
yang cukup untuk mencapai kesimpulan bahwa IFRS memberikan dampak menurunnya
earnings management.
Dampak
diimplementasikannya IFRS terhadap menurunnya earnings management di negara
yang sedang mengembangkan perekonomiannya mungkin tidak dapat ditelusuri secara
langsung ketika berbicara tentang stabilitas perekonomian dan politiknya.
Negara-negara Eropa dan Australia adalah contoh negara-negara dengan
perekonomian dan politik yang cukup stabil dan dampak dari pengadopsian IFRS
mungkin tidak dipengaruhi oleh situasi yang ada di negara tersebut. Hal ini
bisa berbeda dengan hasil penelitian tentang adopsi IFRS di negara-negara
berkembang, misalnya di India.
Sebuah
penelitian dilakukan oleh Rudra dan Bhattacharjee (2012). Menurut Rudra dan
Bhattacharjee (2012), India adalah salah satu negara dengan tingkat earnings
management tertinggi di dunia. India yang juga sebagai emerging market,
memberikan peluang untuk menguji apakah adopsi standar internasional
berhubungan dengan earnings management yang lebih rendah. Meskipun demikian,
penelitian ini menghasilkan kesimpulan yang berbeda dari penelitian-penelitian
sebelumnya karena ternyata di negara berkembang dimana standar internasional
dihadapi, cenderung lebih “mulus” dalam laba jika dibandingkan dengan
perusahaan yang tidak mengadopsi IFRS. Kesimpulan ini tentu berbeda dengan
penelitian-penelitian sebelumnya, yaitu bahwa IFRS dapat meningkatkan kualitas
laporan. Temuan ini dapat memberikan saran pada regulator untuk berpikir
tentang efektivitas IFRS dalam mengurangi opportunistic earnings management di
negara dengan ekonomi berkembang, seperti India khususnya, ketika standar
akuntansi di India mengalami perubahan substansial dengan konvergensi IFRS
secara bertahap.
Meskipun
hasil-hasil penelitian membuktikan bahwa adopsi IFRS berdampak positif terhadap
kualitas pelaporan keuangan, apakah selalu demikian? Sebuah penelitian
dilakukan oleh Djatec, et.al (2010) pada 15 negara di Asia Pasifik dimana 7 di
antaranya merupakan negara yang dikarakteristikkan sebagai infrastruktur
institusional yang market supportive (Australia, India, Jepang, Hong Kong,
Malaysia, Singapura, dan Taiwan), sementara 8 lainnya merupakan negara dengan
institusi non-market supportive infrastructure (China, Indonesia, Korea,
Selandia Baru, Pakistan, Filipina, Sri Lanka, dan Thailand). Menggunakan
hipotesis nol, pengujian dilakukan dengan one-tailed test untuk menguji apakah
terdapat perbedaan dalam kualitas informasi publik dan privat di antara negara
yang memiliki dukungan yang tinggi ataupun rendah pada pasar saham. Penelitian
ini menghasilkan kesimpulan bahwa kualitas dari private information lebih
tinggi daripada negara non-market supportive, dan kualitas informasi publik
(umum) lebih tinggi untuk market supportive infrastructure. Dengan kata lain,
jika kita mengkontekskan IFRS pada pelaporan akuntansi yang di-release di pasar
saham dan informasinya dapat digunakan secara luas oleh pihak yang
berkepentingan, IFRS lebih memberikan manfaat pada negara yang memiliki
infrastruktur institusional yang mendukung pasar daripada negara yang
infrastrukturnya tidak mendukung pasar (Sanikantantri, 2013).
Jeanjean
dan Stolowy (2008) meneliti dampak keharusan mengadopsi IFRS terhadap manajemen
laba dengan mengobservasi 1146 perusahaan dariAustralia, Prancis, dan UK mulai
tahun 2005 hingga 2006. Penelitian tersebut menemukan bukti bahwa manajemen
laba di negara-negara tersebut tidak mengalami penurunan setelah adanya
keharusan mengadopsi IFRS, dan bahkan meningkat untuk Prancis.
Penelitian
Ball et all. (2003) juga menunjukkan bahwa standar berkualitas tinggi tidak
selalu menghasilkan informasi akuntansi berkualitas tinggi. Hasil penelitiannya
menyimpulkan bahwa hal ini diakibatkan oleh buruknya insentif terhadap pembuat
laporan keuangan dan bahwa kualitas pelaporan pada akhirnya ditentukan oleh
faktor ekonomi dan politik di negara yang bersangkutan yang mempengaruhi
insentif manajer dan auditor, dan bukan semata-mata ditentukan oleh standar
akuntansi.
Penelitian
Ali dan Hwang (2000) menyimpulkan di negara-negara dengan mekanisme
perlindungan investor yang lemah, ruang lingkup manajemen laba akan cenderung
lebih tinggi dan kualitas pelaporan keuangan yang lebih rendah serta
menyiratkan bahwa biaya pengadopsian IFRS lebih tinggi. Sedangkan menurut hasil
penelitian Van Tendeloo and Vanstraelen (2005) tidak menemukan perbedaan
earnings management pada perusahaan yang menerapkan IAS dibandingkan dengan
perusahaan yang menerapkan GAAP Jerman.
Menurut
IAS 1, IFRS sendiri menekankan konsep nilai wajar. Nilai wajar itu sendiri
berdasarkan FASB Concept Statement No. 7 adalah harga yang akan diterima dalam
penjualan aset atau pembayaran untuk mentransfer kewajiban dalam transaksi yang
tertata antara partisipan di pasar dan tanggal pengukuran. Dengan penggunaan
konsep IFRS akan berdampak terhadap laporan keuangan dan kinerja keuangan
perusahaan karena terdapat perbedaan pengukuran terhadap nilai item-item
laporan keuangan itu sendiri yang sebelumnya menggunakan konsep historical
cost.
Perubahan
pada kinerja keuangan itu juga didukung dengan penelitian Petreski (2006) yang
meneliti tentang dampak adopsi IFRS pada laporan keuangan perusahaan dan pada
manajemen perusahaan yang menunjukan IFRS memiliki dampak positif terhadap
laporan keuangan dan manajemen perusahaan menjadi lebih bertanggungjawab
(accountable).Sementara penelitian Ballas (2010) dalam Situmorang dan Purwanto
(2011) juga menemukan bahwa IFRS berdampak positif terhadap peningkatan ekuitas
perusahaan.Tsalavoutas (2010) dalam Situmorang dan Purwanto (2011) menemukan
bahwa implementasi IFRS memiliki dampak yang positif terhadap peningkatan
ekuitas dan laba bersih perusahaan di Yunani.
Selanjutnya,
penelitian Nuariyanti dan Erawati (2014) juga menunjukan perbaikan kinerja bank
Mandiri yang dinilai dari Loan to Assets ratio, Return on Assets serta Debt to
Equity Ratio antara periode sesudah konversi IFRS dibandingkan dengan sebelum
konvergensi IFRS. Hal ini dapat dilihat dengan adanya peningkatan rasio Loan to
Assets ratio, Return on Assets serta Debt to Equity Ratio sebelum dan sesudah
penerapan IFRS pada Bank Mandiri.
Selain
itu terdapat penelitian Situmorang dan Purwanto (2011) dan Ghani (2012) yang
menunjukan pengaruh implementasi IFRS memiliki dampak yang positif terhadap
laporan keuangan. Sementara penelitian Maruli (2010) menemukan tidak ada
perbedaan signifikan pada nilai aset, pendapatan, laba dan ROA antara
perusahaan argikultur yang menggunakan pendekatan nilai wajar dengan
menggunakan pendekatan historis.
Penelitian
ini adalah penelitian replikasi dari penelitian Nuariyanti dan Erawati (2014)
dengan judul penelitian Analisis Komparatif Kinerja Perusahaan Sebelum dan
Sesudah Konversi ke IFRS. Akan tetapi Penelitian Nuariyanti dan Erawati (2014)
rasio keuangan yang digunakan hanya terbatas pada rasio profitabilitas dan
rasio solvabilitas.
Dampak
Implementasi PSAK Berbasis IFRS Terhadap Menurunnya Manajemen Laba
Standar
akuntansi internasional bertujuan untuk menyederhanakan berbagai alternatif
kebijakan akuntansi yang diperbolehkan dan diharapkan untuk membatasi
pertimbangan kebijakan manajemen (management’s discretion) terhadap manipulasi
laba sehingga dapat meningkatkan kualitas laba (Cai et al, 2008). Terbatasnya
pertimbangan kebijakan manajemen tersebut terkait dengan semakin sedikitnya pilihan-pilihan
metode akuntansi yang dapat diterapkan
sehingga akan meminimalisir praktik kecurangan akuntansi. Sebelum penerapan IFRS, manajemen mempunyai
fleksibilitas ketika memilih metode akuntansi sehingga memotivasi manajer untuk
memilih metode akuntansi atau untuk mengubah yang digunakan dalam rangka meningkatkan, menurunkan, atau meratakan laba.
Dengan kata lain, manajemen dapat dengan mudah memanfaatkan kelonggaran
penggunaan metode atau prosedur akuntansi untuk memainkan laba sehingga akan
meningkatkan tindakan manajemen laba. Dengan demikian, adanya penerapan IFRS
pada perusahaan akan menurunkan tindakan manajemen laba karena terdapat
pembatasan pertimbangan kebijakan manajemen dalam hal ini adalah kebijakan
dalam pemilihan metode akuntansi yang semakin sedikit akibat adanya penerapan
IFRS (Qomariah, 2013).
Penerapan
IFRS juga berdampak pada persyaratan pengungkapan yang lebih banyak dan lebih
rinci. Tingkat pengungkapan yang semakin mendekati pengungkapan penuh (full
disclousure) akan mengurangi tingkat asimetri informasi (ketidakseimbangan
informasi). Asimetri informasi ini merupakan salah satu yang menyebabkan adanya
konflik antara menejemen dan pemegang saham. Oleh karena itu disfunctional
behavior akan dilakukan dengan melakukan
manajemen laba oleh manajer terutama
jika informasi tersebut terkait dengan pengukuran kinerja manajer. Dengan demikian, berdasarkan teori diatas
dapatdisimpulkan bahwa dengan adanya penerapan IFRS yang berdampak pada
pemberian pengungkapan yang lebih banyak dan rinci akan mengurangi tingkat
asimetri informasi sehingga dapat mengurangi tindakan manajemen laba.
Barth
et al. (2008) meneliti kualitas akuntansi sebelum dan sesudah dikenalkannya
IFRS. Hasil penelitiannya menemukan bukti bahwa setelah diperkenalkannya IFRS,
tingkat manajemen laba menjadi lebih rendah, relevansi nilai menjadi lebih
tinggi, dan pengakuan kerugian menjadi semakin tepat waktu, dibandingkan dengan
masa sebelum transisi di mana akuntansi masih berdasarkan local GAAP. Ewert dan
Wagenhof (2005) menyatakan bahwa standar akuntansi yang semakin ketat dapat
menurunkan manajemen laba dan meningkatkan kualitas pelaporan keuangan.
IFRS
dan Ketepatwaktuan (Timelinees) Pelaporan Keuangan
Konsep
Ketepatwaktuan
Kualitas
ketepatwaktuan (timeliness) ditunjukkan dengan (1) tersedia pada waktu yang
tepat atau (2) dijadwalkan dengan baik (Gregory, at.al, 1963:576 dalam Owusu,
2000:278). Ketepatwaktuan informasi mengandung pengertian bahwa informasi
sebelum kehilangan kemampuannya untuk mempengaruhi atau membuat perbedaan dalam
keputusan (Suwardjono, 2002:11). Berkaitan dengan pengertian tersebut,
ketepatwaktuan laporan keuangan tahunan tersedia di publik sebelum kehilangan
kemampuannya untuk mempengaruhi atau membuat perbedaan dalam keputusan. Dari
konsep ini, maka poin penting yang menjadi masalah adalah apabila tidak tepat
waktu dalam menyampaikan laporan keuangan tahunan. Tidak tepat waktu dapat
dikonsepkan sebagai waktu antara ketersediaan informasi yang didistribusikan
oleh pelapor informasi pada saat tertentu dengan distribusi informasi yang
seharusnya sudah diterima oleh pemakai informasi pada waktu yang telah ditetapkan
(Syafrudin, 2004:760).
Ketepatwaktuan
laporan keuangan adalah salah satu aspek penting atas laporan keuangan terkait
relevansinya yang merupakan salah satu karakteristik kualitatif atas laporan
keuangan. Ketepatwaktuan menghendaki suatu informasi tersedia bagi para
pengguna laporan keuangan secepat mungkin (Carslaw dan Kaplan, 1991). Menurut
Owusu (2000) pelaporan yang tepat waktu adalah suatu cara yang penting untuk
mengurangi insider trading, kebocoran, dan rumor di pasar modal negara berkembang.
Jaggi dan Tsui (1999) menyatakan bahwa investor membutuhkan informasi yang
tepat waktu untuk mengurangi tersebarnya informasi keuangan yang asimetri dan
untuk pertumbuhan investasi masyarakat secara keseluruhan.
Ketepatwaktuan
merupakan salah satu syarat relevansi dan keandalan penyajian laporan keuangan.
Ketepatwaktuan tidak menjamin relevansi tetapi relevansi tidaklah mungkin tanpa
ketepatwaktuan, namun pada penerapan ketepatwaktuan pelaporan terdapat banyak
kendala. Untuk melihat ketepatwaktuan, biasanya suatu penelitian melihat
keterlambatan pelaporan (lag) (Margaretta, 2011). Menurut Dyer dan McHugh,
dalam Bandi dan Hananto (2000), ada tiga kriteria keterlambatan, yaitu:
1
Keterlambatan audit
(Auditors’ Report Lag) yaitu interval jumlah hari antara tanggal laporan
keuangan sampai tanggal laporan auditor ditandatangani;
2
Keterlambatan Pelaporan
(Reporting Lag) yaitu interval jumlah hari antara tanggal laporan auditor
ditandatangani sampai tanggal pelaporan oleh BEJ;
3
Keterlambatan total
(Total Lag) yaitu interval jumlah hari antara tanggal periode laporan keuangan
sampai tanggal laporan dipublikasikan oleh bursa.
Chamber dan Penman (1984: 2)
mendefinisikan Ketepatwaktuan dalam dua cara : (1) Ketepatwaktuan didefinisikan
sebagai keterlambatan waktu pelaporan dari tanggal laporan keuangan sampai
tanggal melaporkan dan (2) ketepatwaktuan ditentukan dengan ketepatwaktuan
pelaporan realtif atas tanggal pelaporan yang diharapkan
Perusahaan
di Indonesia yang menerapkan IFRS cenderung mengalami audit delay. Hal ini
dikarenakan perusahaan yang telah menerapkan IFRS diwajibkan untuk melakukan
pengungkapan yang luas, dengan begitu dibutuhkan upaya dan waktu yang lebih
lama dalam melaksanakan audit (Hoodgendoorn, 2006 dalam Haryani dan Wiratmaja,
2014) . Selain itu Carlin, et al. (2009) menyatakan bahwa kompleksitas IFRS
tidak hanya pada perlakuan akuntansi, tetapi juga pada kesulitan untuk mematuhi
pelaporan yang terinci. Hasil penelitian yang terkait dengan penerapan IFRS
terhadap ketepatwaktuan pelaporan keuangan diantaranya, penelitian yang
dilakukan Che-Ahmad (2012) menguji tentang penerapan IFRS, dimana hasilnya
menyebutkan bahwa penerapan IFRS di Malaysia memperpanjang audit delay yang
dialami perusahaan karena kompleksitas IFRS menyebabkan waktu yang dibutuhkan
auditor untuk mengaudit laporan keuangan menjadi relatif lebih lama.
Penelitian
Sari (2012) mengenai analisis pengaruh penerapan IFRS terhadap keterlambatan
penyampaian laporan keuangan dengan sampel seluruh perusahaan yang terdaftar di
Bursa Efek Indonesia memberikan bukti bahwa penerapan IFRS, ukuran perusahaan,
dan kinerja perusahaan berpengaruh signifikan terhadap keterlambatan waktu
penyampaian laporan keuangan.
Hasil
penelitian yang dilakukan Margaretta (2011), menyatakan bahwa penerapan IFRS
tidak berpengaruh terhadap keterlambatan waktu penyampaianlaporan keuangan
dengan arah koefisien regresi positif. Arti dari penelitian ini yaitu penerapan
IFRS mengakibatkan semakin tingginya tingkat keterlambatan penyampaian laporan
keuangan. Keterlambatan penyampaian laporan keuangan menjadi salah satu
indikasi bahwa perusahaan mengalami audit delay yang panjang, karena sebelum
laporan keuangan dipublikasi harus terlebih dahulu diaudit. Penelitian Haryani
dan Wiratmaja (2012), mengenai Pengaruh Ukuran Perusahaan, Komite Audit,
Penerapan International Financial Reporting Standards Dan Kepemilikan Publik
Pada Audit Delay pada perusahaan Manufaktur yang terdaftar di BEI pada periode
2008 sampai 2011, memberikan bukti bahwa variabel komite audit dan kepemilikan
publik berpengaruh pada audit delay. Sedangkan variabel ukuran perusahaan dan
penerapan IFRS tidak berpengaruh pada audit delay.
Dampak
Implementasi PSAK Berbasis IFRS Terhadap Meningkatnya Ketepatwaktuan
(Timelinees) Pelaporan Keuangan
Ketepatwaktuan
didefinisikan sebagai suatu pemanfaatan informasi oleh pengambil keputusan
sebelum informasi tersebut kehilangan kapasitas atau kemampuannya untuk
mengambil keputusan. Tepat waktu diartikan bahwa informasi harus disampaikan
sedini mungkin agar dapat digunakan sebagai dasar dalam pengambilan keputusan
ekonomi dan untuk menghindari tertundanya pengambilan keputusan tersebut.
Ketepatwaktuan tidak menjamin relevansi, tetapi relevansi informasi tidak
dimungkinkan tanpa ketepatwaktuan informasimengenai kondisi dan proses
perusahaan harus cepat dan tepat sampai kepada pengguna laporan keuangan
(Rahmawati, 2008).
IFRS
mensyaratkan pengungkapan berbagai informasi tentang risiko baik kualitatif
maupun kuantitatif. Pengungkapan dalam laporan keuangan harus sejalan dengan
data/informasi yang dipakai untuk pengambilan keputusan yang diambil oleh
manajemen. Tingkat pengungkapan yang makin mendekati pengungkapan penuh (full
disclosure) akan mengurangi tingkat asimetri informasi (ketidakseimbangan
informasi) antara manajer dengan pihak pengguna laporan keuangan. Dari beberapa
bukti empiris yang dilakukan dari tahun 2005-2010 ditemukan bahwa tingkat
keterlambatan penyampaian laporan keuangan menjadi meningkat setiap tahunnya
(Margareta, 2011). Dimana penerapan IFRS dapat menjadi salah satu faktornya
dikarenakan masih sedikitnya pengetahuan masyarakat tentang IFRS, banyak
disclousure, banyak menggunakan fair value, dan relatif baru untuk diterapkan.
Yaacob
and Ahmad (2011) dalam penelitiannya memberikan hasil bahwa adanya peningkatan
yang signifikan pada lamanya waktu untuk mengeluarkan laporan audit setelah
adopsi IFRS di Malaysia. Penelitian Sari (2012) mengenai analisis pengaruh
penerapan IFRS terhadap keterlambatan penyampaian laporan keuangan dengan
sampel seluruh perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia memberikan
bukti bahwa penerapan IFRS, ukuran perusahaan, dan kinerja perusahaan
berpengaruh signifikan terhadap keterlambatan waktu penyampaian laporan
keuangan.
Berkaitan
dengan adanya program konvergensi PSAK ke IFRS sebagai bentuk penyempurnaan
regulasi sebelumnya dan tuntutan ketepatwaktuanpublikasi suatu laporan
keuangan, BAPEPAM selaku lembaga yang berfungsi memberikan pengawasan terhadap
pasar modal dan lembaga keuangan telah melakukan sosialisasi sebelummya terkait
dengan perubahan regulasi tersebut. Jika regulasi dilanggar, maka perusahaan
akan dikenakan sanksi. Regulasi ini diharapkan dapat membuat perusahaan untuk
lebih menerbitkan laporan keuangannya tepat waktu
Perbedaan
Rasio Likuiditas Sebelum dan Sesudah PSAK Berbasis IFRS
Adanya
perbedaan rasio likuiditas ini dikarenakan adanya perbedaan pengakuan hutang
lancar sebelum dan sesudah implementasi PSAK berbasis IFRS yaitu tentang
penyajian laibilitas jangka panjang yang akan dibiayai kembali. Seperti yang
tercantum dalam IAS 1 yaitu jika PSAK berbasis IFRS laibilitas jangka panjang
disajikan sebagai laibilitas jangka pendekjika akan jatuh tempo dalam 12 bulan
meskipun perjanjian pembiayaan kembali sudah selesai periode pelaporan dan
sebelum penerbitan laporan keuangan. Sementara PSAK berbasis US GAAP tetap
disajikan sebagai laibilitas jangka panjang.
Faktor
lain yang menyebabkan perbedaan rasio likuiditas sebelum dan sesudah
implementasi PSAK berbasis IFRS adalah PSAK yang semula berdasarkan historical
cost mengubah paradigmanya menjadi fair value based. Terdapat kewajiban dalam
pencatatan pembukuan mengenai penilaian kembali keakuratan berdasarkan nilai
kini atas suatu aset, liabilitas dan ekuitas. Fair value based mendominasi
perubahan-perubahan di PSAK untuk konvergensi ke IFRS selain hal-hal lainnya.
Selain itu menurut Laoanez dan Callao (2000) rasio likuiditas dipengaruhi
secara signifikan oleh perubahan pengakuan aktiva tidak berwujud, pengakuan
biaya, pengakuan rugi selisih dan metode untuk menilai aktiva tetap berwujud.
Hasil
penelitian terhadap rasio likuiditas menunjukan adanya perbedaan antara sebelum
dan sesudah implementasi PSAK berbasis IFRS. Hal dapat dilihat dengan adanya
peningkatan nilai rata-rata (mean) current ratio sebelum dan sesudah
implementasi PSAK berbasis IFRS yang sebelumnya 191,16% menjadi 193,03%. Begitu
juga dengan quick ratio yang mengalami peningkatan rata-rata (mean) yang
sebelumnya 126,40% menjadi 128,48%.
Hasil
dari penelitian ini berhasil mengkonfirmasi penelitian sebelumnya yang
dilakukan oleh Petreski (2006) yang meneliti tentang dampak adopsi IFRS pada
laporan keuangan perusahaan dan pada manajemen perusahaan yang menunjukan IFRS
memiliki dampak positif terhadap laporan keuangan. Selain itu juga penelitian
ini sesuai dengan penelitian Situmorang dan Purwanto (2011) yang menunjukan
adanya pengaruh IFRS pada laporan keuangan perusahaan ditinjau likuiditas
berdasarkan indeks comparability Gray.
Perbedaan
Rasio Solvabilitas Sebelum dan Sesudah PSAK Berbasis IFRS
Perbedaan
rasio likuiditas ini disebabkan karena PSAK yang semula berdasarkan berdasarkan
historical cost mengubah paradigmanya menjadi fair value based. Terdapat kewajiban
dalam pencatatan pembukuan mengenai penilaian kembali keakuratan berdasarkan
nilai kini atas suatu aset, liabilitas dan ekuitas. Perbedaaan pengungkapan dan
pencatatan inilah yang menyebabkan perbedaan rasio solvabilitas sebelum dan
sesudah implementasi PSAK berbasis IFRS.
Hasil
penelitian terhadap rasio solvabilitas menunjukan adanya perbedaan antara
sebelum dan sesudah implementasi PSAK berbasis IFRS. Hal ini dapat dilihat
dengan adanya penurunan rata-rata DAR dari sebelum implementasi sebesar 44,88%
menjadi sebesar 43,60% setelah implementasi PSAK berbasis IFRS. Begitu juga
dengan DER yang mengalami penurunan dari semula sebesar 102,71% menjadi 95,51%.
Selain
itu menurut Laoanez dan Callao (2000) rasio solvabilitas dipengaruhi secara
signifikan oleh perubahan pengakuan aktiva, pengakuan goodwill, pengakuan
subsidi modal, pengakuan biaya penelitian, pengakuan biaya pengembangan,
pengakuan rugi selisih, dan metode untuk menilai aktiva tetap berwujud. Hal ini
sesuai dengan penelitian Nuariyanti dan Erawati (2014) yang menemukan adanya
perbedaan rasio solvabilitas periode sesudah konversi IFRS dibandingkan dengan
sebelum konvergensi IFRS.
Perbedaan
Rasio Profitabilitas Sebelum dan Sesudah PSAK Berbasis IFRS
Adanya
perbedaan rasio profitabilitas disebabkan karena IAS 37 berisi kriteria
pengakuan yang lebih spesifik akan aset kontijensi, kewajiban diestimasi, dan
aktiva kontijensi dan karena pengaturan akan pengungkapan yang lebih spesifik
tersebut memiliki dampak negatif terhadap nilai aktiva bersih. IAS 36
mengharuskan perusahaan untuk menilai aset untuk penurunan nilai, dan membuat
secara eksplisit pedoman bagaimana melakukannya dan bagaimana setiap kerusakan
harus dipertanggungjawabkan. Tidak seperti IAS 2, PSAK mengijinkan penggunaan
LIFO (masuk terakhir, keluar pertama), yang sering digunakan dalam praktik
menilai persediaan. IAS 2 secara eksplisit mengharuskan perusahaan menilai
persediaan sebesar nilai terendah antara harga perolehan dan nilai realisasi
bersih dan mengakui penurunan nilai, sementara di bawah PSAK, perubahan nilai
persediaan diungkapkan dalam catatan tapi tidak diakui.
IAS
18 memperkenalkan persyaratan yang berbeda untuk pengakuan pendapatan penjualan
yakni pendapatan diakui pada nilai wajar pendapatan yang akan diperoleh serta
pendapatan dari penjualan harus diakui ketika perusahaan menyerahkan hak milik
atas barang kepada pembeli, penyesuaian terhadap standar ini diekspektasikan
mempengaruhi aktiva bersih dengan mengurangi nilai aktiva lancar (persediaan
dan piutang) yang akan berpengaruh juga terhadap nilai laba bersih dan ekuitas
perusahaan.
Hasil
penelitian terhadap rasio profitabilitas menunjukan adanya perbedaan antara
sebelum dan sesudah implementasi PSAK berbasis IFRS. Hal ini dapat dilihat
dengan adanya peningkatan rata-rata ROE dari sebelum implementasi sebesar
10,18% menjadi sebesar 12,11% setelah implementasi PSAK berbasis IFRS. Begitu
juga dengan ROA yang mengalami penurunan dari semula sebesar 6,1% menjadi
7,31%.
Hal
ini sesuai dengan penelitian Nuariyanti dan Erawati (2014) yang menemukan
adanya perbedaan rasio profitabilitas periode sesudah konversi IFRS
dibandingkan dengan sebelum konvergensi IFRS. Selain itu, sesuai juga dengan
penelitian yang dilakukan oleh Ghani (2012) tentang perbandingan rasio profitabilitas
laporan keuangan sebelum dan sesudah penerapan yang menunjukan adanya perbedaan
rasio profitabilitas sebelum dan sesudah penerapan. Hal ini dilihat dari
perbedaan ROE, ROA, dan NPM.
Penerapan
PSAK terbaru yang telah konvergensi IFRS memberikan perbedaan pada kualitas
akuntansi. Dalam penelitian ini, kualitas akuntansi diproksikan dalam 2 bentuk
yaitu penerapan manajemen laba dan relevansi nilai akuntansi.
Berdasarkan
hasil penelitian ini, penerapan manajemen laba yang dikhususkan penerapan
income smoothing ternyata menunjukan tidak ada perbedaan antara sebelum
konvergensi IFRS dan setelah konvergensi IFRS. Meskipun angka rho menunjukkan
adanya perbedaan, namun secara signifikansi tidak memenuhi kriteria, sehingga
hasil menunjukkan bahwa Ha tidak diterima, yaitu tidak terdapat perbedaan
signifikan tingkat manajemen laba sebelum dan sesudah konvergensi IFRS.
Pada
PSAK terbaru yang mengadopsi IFRS menganut principal based dimana akuntan
diberikan wewenang untuk menentukan suatu proses akuntansi sendiri, dan
disinilah dibutuhkan professional judgment. Menurut Benneth et al. (2006)
principal based standards mensyaratkan professional judgment baik pada level transaksi
maupun pada level laporan keuangan. Selain itu, pada IFRS ada beberapa metode
akuntansi yang dibatasi seperti LIFO. Menurut hasil penelitian ternyata
professional judgement maupun pembatasan metode akuntansi yang ada pada IFRS
tidak mampu mengubah tingkat manajemen laba. Sehingga tingkat manajemen laba
sebelum dan sesudah konvergensi IFRS tidak menunjukkan perbedaan.
Hasil
penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian dari Jeanjean dan Stolowy (2008)
yang meneliti dampak keharusan mengadopsi IFRS terhadap manajemen laba dengan
mengobservasi 1146 perusahaan dari Australia, Prancis, dan UK mulai tahun 2005
hingga 2006. Penelitian tersebut menemukan bukti bahwa manajemen laba di
negara-negara tersebut tidak mengalami penurunan setelah adanya keharusan mengadopsi
IFRS, dan bahkan meningkat untuk Prancis. Menurut Jeanjean dan Stolowy (2008),
insentif manajemen dan kelembagaan nasional memainkan peran penting dalam
membingkai karakteristik pelaporan keuangan, dan mungkin hal ini lebih penting
daripada standar akuntansi saja. Selain itu kesiapan sumberdaya manusia dalam
menggunakan standar internasional ini juga turut mendorong terciptanya
keefektifan penggunaan standar tersebut.
Berdasarkan
data hasil regresi relevansi nilai terlihat adanya peningkatan relevansi nilai
informasi akuntansi dengan data pasar. Relevansi nilai ini diukur dengan
melihat kemampuan informasi laporan keuangan untuk mengubah harga saham karena
menyebabkan investor memperbaiki ekspektasinya. Informasi akuntansi yang
berkualitas tinggi adalah informasi dengan tingkat relevansi nilai yang tinggi
(Barth dkk., 2008).
Hasil
penelitian ini sesuai dengan penelitian Chua (2012) yang menyatakan bahwa
relevansi nilai informasi akuntansi semakin meningkat bila dibandingkan saat
masih menggunakan standar domestik. Relevansi nilai ini semakin meningkat
setelah dilakukan konvergensi IFRS karena sebagai principles-based standards
dinilai lebih dapat meningkatkan relevansi nilai informasi akuntansi.
Pengukuran dengan fair value lebih dapat menggambarkan posisi dan kinerja
ekonomik perusahaan, sehingga laporan keuangan dikatakan lebih relevan. Hal ini
dapat membantu investor dalam mengambil keputusan investasi secara tepat.
PERUSAHAAN
TERBAIK PADA TAHUN 2015
Laporan
keuangan memegang peranan penting karena memuat informasi mengenai posisi dan
kinerja keuangan yang dihasilkan dari proses akuntansi berdasarkan aktivitas
dan peristiwa ekonomi perusahaan, sehingga berfungsi bagi para pihak-pihak yang
berkepentingan dalam mengambil keputusan. Standar Akuntansi Keuangan
mendefinisikan laporan keuangan sebagai: “Laporan keuangan bagian dari proses
pelaporan keuangan. Laporan keuangan yang lengkap biasanya meliputi neraca,
laporan laba-rugi, laporan perubahan posisi keuangan yang disajikan dalam berbagai
cara (seperti misalnya sebagai laporan arus kas atau arus dana), catatan dan laporan
lain serta materi penjelasan yang merupakan bagian integral dari laporan keuangan.
Selain itu, laporan keuangan juga termasuk skedul dan informasi tambahan yang
berkaitan dengan laporan tersebut misalnya informasi keuangan segmen industri dan
geografis serta pengungkapan pengaruh perubahan harga.” Sedangkan tujuan laporan
keuangan menurut PSAK 1 adalah memberikan informasi tentang posisi keuangan,
kinerja, dan arus kas perusahaan yang bermanfaat bagi sebagian besar kalangan
pengguna laporan dalam rangka membuat keputusan-keputusan ekonomi serta
menunjukkan pertanggungjawaban (stewardship) manajemen atas penggunaan sumber-sumber
daya yang dipercayakan kepada mereka. Para pemakai laporan akan menggunakannya
untuk meramalkan, membandingkan, dan menilai dampak yang mungkin timbul dari
keputusan ekonomis yang diambilnya. FASB melalui SFAC No.1 (dalam Hendriksen
dan Van Breda) menyatakan bahwa tujuan pelaporan keuangan yaitu:
1
Pelaporan keuangan
harus memberikan informasi yang berguna bagi investor dan kreditur dan pengguna
lainnya baik yang ada atau yang potensial, dalam rangka pengambilan keputusan
rasional untuk investasi kredit dan keputusan sejenis lainnya.
2
Menyediakan informasi untuk membantu investor
dan kreditur, dan pengguna lainnya baik yang ada maupun yang potensial untuk
menilai jumlah, waktu dan ketidakpastian penerimaan kas prospektif perusahaan
3
Menyediakan informasi
tentang sumber daya perusahaan, klaim terhadap sumber daya tersebut, dan
pengaruh transaksi, kejadian dan lingkungan serta situasi yang dapat
berpengaruh terhadap sumber daya dan klaim tersebut. Agar laporan keuangan
dapat memenuhi tujuan penggunaannya, maka laporan harus memiliki
karakteristik
tertentu yang disebut karakteristik kualitatif laporan keuangan. Dalam Kerangka
Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan Standar Akuntansi Keuangan
terdapat empat karakteristik kualitatif laporan keuangan yaitu dapat dipahami
(understandability), relevan (relevance), andal (reliability), dan dapat diperbandingkan
(comparability).
1
Dapat dipahami Informasi
yang disajikan dalam laporan keuangan harus dapat dipahami oleh pengguna
laporan keuangan yang memiliki pengetahuan yang memadai mengenai proses bisnis
dan akuntansi perusahaan dan ketekunan yang wajar untuk mempelajarinya.
2
Relevan Suatu informasi
dikatakan relevan jika dapat mempengaruhi keputusan pengguna laporan keuangan.
Mempengaruhi yang dimaksud disini adalah mengoreksi atau menegaskan harapan
atas hasil-hasil yang mungkin diperoleh dari keputusan yang diambil.
3
Andal Suatu informasi dikatakan andal jika
bebas dari pengertian yang menyesatkan, material, dan dapat diandalkan
penggunanya sebagai penyajian jujur dari yang seharusnya disajikan atau yang
secara wajar diharapkan dapat disajikan.
4
Dapat diperbandingkan Laporan keuangan harus
dapat diperbandingkan antarperiode dan antarperusahaan.
Oleh
karena itu, kebijakan akuntansi harus diterapkan secara konsisten untuk
perusahaan bersangkutan, antarperiode perusahaan yang sama dan antarperusahaan
yang berbeda. Laporan keuangan yang lengkap umumnya meliputi neraca, laporan
laba rugi, laporan arus kas, laporan perubahan ekuitas dan catatan atas laporan
keuangan.
Perusahaan publik yang terdaftar pada
Bursa Efek Indonesia, berdasarkan Peraturan BEI Nomor I-E wajib menyampaikan
laporan keuangan berkala kepada Bursa berupa laporan keuangan tahunan dan
laporan keuangan interim. Laporan Keuangan Tahunan harus disampaikan dalam
bentuk Laporan Keuangan Auditan, selambat-lambatnya pada akhir bulan ketiga
setelah tanggal laporan keuangan tahunan. Peraturan Bapepam LK Nomor X.K.2 yang
ditetapkan berdasarkanKeputusan Ketua Bapepam LK Nomor 36/PM/2003 juga
menyatakan bahwa laporan keuangan harus disertai laporan akuntan yang menyatakan
pendapat yang lazim, dan disampaikan selambat-lambatnya pada akhir bulan ketiga
setelah tanggal laporan keuangan tahunan. Sedangkan laporan keuangan interim
wajib disampaikan selambatlambatnya:Satu bulan setelah tanggal pelaporan
interim yang bersangkutan, dalam hal
1. laporan
keuangan interim tidak diaudit oleh akuntan publik.
2. Dua bulan setelah tanggal pelaporan interim
yang bersangkutan, dalam hal laporan keuangan interim ditelaah secara terbatas
oleh akuntan publik.
3. Tiga
bulan setelah tanggal pelaporan interim yang bersangkutan, dalam hal laporan
keuangan interim diaudit oleh akuntan publik.
penyelenggaraan
Annual Report Award (ARA) atau Penghargaan Laporan Tahunan 2015 di Ballroom I
Hotel Ritz Carlton Pacific Place Jakarta Selatan. Hal ini diungkapkan
Direktorat Komunikasi Otoritas Jasa Keuangan Pusat Dedi Setiawan kepada
Saibumi.com dalam rilisnya, Rabu 23 September 2015. "Malam penganugerahan
ARA ke - 14 ini sebagai bentuk komitmen pentingnya penerapan Good Corporate
Governance (GCG). GCG mendukung perekonomian nasional karena penerapan tata
kelola yang baik membuat apapun kegiatan perusahaan lebih transparan, "
kata Dedi menyampaikan isi kata sambutan dari Kepala Eksekutif Pengawas Pasar
Modal OJK Nurhaida sekaligus sebagai Ketua Panitia Pengarah Penghargaan Laporan
Tahunan (ARA).
Peserta
ARA tahun yang diikuti 294 perusahaan dengan penilaiannya dibagi berdasarkan 11
kategori. Jumlah perusahaan yang jadi peserta naik 13 persen atau bertambah 33
perusahaan dibanding tahun lalu. Dari 294 perusahaan peserta, terdapat tiga
Bank Perkreditan Rakyat (BPR) yang baru tahun ini ikut seleksi ARA. Ada delapan
kriteria penilaian atas Laporan Tahunan mulai dari ikhtisar data keuangan
penting, laporan dewan komisaris dan direksi, profil perusahaan, hingga analisa
dan pembahasan manajemen atas kinerja perusahaan.
Hasil penilaian dari Laporan Tahunan
selanjutnya masuk ke seleksi tahap wawancara oleh Dewan Juri untukmenentukan
pemenangnya. Dewan Juri terdiri dari 23 orang dengan Soedaryono sebagai Ketua Dewan
Juri. Dewan Juri berasal dari perwakilan OJK, BPKP, Kementerian BUMN, Ditjen
Pajak, IAI, KNKG, BEI, Pefindo, Akamedisi dan Pengamat. Penyerahan penghargaan
kepada para pemenang dilakukan langsung oleh Ketua dan Anggota Dewan Komisioner
OJK, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution, Menteri Keuangan
RI Bambang Permadi Soemantri Brojonegoro, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo,
Menteri Negara BUMN Rini Soemarno, Gubernur Bank Indonesia Agus DW
Martowardojo, Kepala Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan Ardan Adiperdana.
KRITERIA ANNUAL REPORT AWARD 2015 Penilaian
ARA 2015 dibagi menjadi 2 tahap, yaitu:
A. Penilaian
Kuantitatif (100%) terdiri dari 8 klasifikasi, yaitu:
1. Umum:
Bobot keseluruhan untuk klasifikasi ini sebesar 2%;
2. Ikhtisar
Data Keuangan Penting: Bobot keseluruhan untuk klasifikasi ini sebesar 5%;
3. Laporan
Dewan Komisaris dan Direksi: Bobot keseluruhan untuk klasifikasi ini sebesar
3%;
4. Profil
Perusahaan: Bobot keseluruhan untuk klasifikasi ini sebesar 8%;
5. Analisa
dan Pembahasan Manajemen atas Kinerja Perusahaan: Bobot keseluruhan untu k
klasifikasi ini sebesar 22%;
6. Good
Corporate Governance: Bobot keseluruhan untuk klasifikasi ini sebesar 35%;
7. Informasi
Keuangan: Bobot keseluruhan untuk klasifikasi ini sebesar 20%; dan
8. Lain-lain:
Bobot keseluruhan untuk klasifikasi ini sebesar +/- 5%
1) Praktik
good corporate governance (+5%) yang melebihi kriteria, seperti:
·
Terdapat surat
pernyataan tanggung jawab manajemen atas Laporan Keuangan bagi Perusahaan non
Tbk; dan
·
Menyampaikan Laporan Keberlanjutan/CSR
yang disusun berdasarkan standar yang berlaku secara internasional (GRI
Sustainability Reporting Guidelines).
2) Praktik
bad corporate governance (-5%) yang tidak diatur dalam kriteria, seperti:
·
Adanya laporan sebagai
perusahaan yang mencemari lingkungan;
·
Perkara penting yang
sedang dihadapi oleh perusahaan, entitas anak, anggota Direksi dan /atau
anggota Dewan Komisaris yang sedang menjabat yang tidak diungkapkan dalam
Laporan Tahunan;
·
Ketidakpatuhan dalam
pemenuhan kewajiban perpajakan; dan
·
Ketidaksesuaian
penyajian laporan tahunan dan laporan keuangan dengan pera turan yang berlaku
dan SAK.
B. Wawancara
(Penentuan Pemenang)
+) Kriteria penilaian
dimaksud berlaku bagi semua peserta, kecuali peserta Dana Pensiun
Berikut
daftar lengkap pemenang ARA 2015 :
Juara Umum BUMN Non Keuangan PT
Aneka Tambang (Persero) Tbk
·
Pemenang kategori BUMN
KEUANGAN LISTED
1. PT
Bank Mandiri (Persero) Tbk
2. PT
Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk
3. PT
Bank Tabungan Negara(Persero) Tbk
·
Pemenang kategori BUMN
NON KEUANGAN LISTED
1. PT
Aneka Tambang (Persero) Tbk
2. PT
Semen Indonesia (Persero) Tbk
3. PT Telekomunikasi Indonesia (Persero) Tbk
·
Pemenang kategori BUMN
KEUANGAN NON LISTED
1. PT
Asuransi Jasa Indonesia (Pesero)
2. Perum
Jaminan Kredit Indonesia
3. .
PT TASPEN (Persero)
·
Pemenang kategori BUMN
NON KEUANGAN NON LISTED
1. PT
Pertamina (Persero)
2. PT Angkasa Pura II (Persero)
3. PT
Bio Farma (Persero)
·
Pemenang kategori
PRIVATE KEUANGAN LISTED
1. PT
Bank Victoria International Tbk
2. PT
Bank Central Asia Tbk
3. PT
Adira Dinamika Multifinance Tbk
·
Pemenang kategori
PRIVATE NON KEUANGAN LISTED
1. PT
Wijaya Karya BetonTbk
2. PT
ElnusaTbk
3. PTAKR
CorporindoTbk
·
Pemenang kategori
PRIVATE KEUANGAN NON LISTED
1. PT
BNI Syariah
2. PT
Bank Syariah Mandiri
3. PT
Bank Mayora
·
Pemenang kategori
PRIVATE NON KEUANGAN NON LISTED
1. PT
Pupuk Kalimantan Timur
2. PT
Pelayanan Listrik Nasional Batam
3. PT
Garuda Maintenance Facility Aeroasia
·
Pemenang kategori BUMD
LISTED
1. PT
Bank DKI
2. PT
Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat dan Banten Tbk
3. PT
Bank Pembangunan Daerah Nusa Tenggara Timur
·
Pemenang kategori BUMD
NON LISTED
1. PT
Bank Pembangunan Daerah Sumatera Selatan dan Bangka Belitung
2. PT
Bank Pembangunan Daerah Jawa Tengah
3. PT
Bank Pembangunan Daerah Kalimantan Barat
·
Pemenang kategori DANA
PENSIUN
1. Dana
Pensiun Bank Indonesia
2. DPLKPT
Bank Mandiri (Persero) Tbk
3. Dana
Pensiun Bank Rakyat Indonesia. (*)
Sejumlah
perusahaan yang terdaftar di bursa saham Indonesia (emiten) mendapat
penghargaan sebagai yang terbaik di masing-masing sektor usaha. Penghargaan
bertajuk Investor Award 2015 ini diberikan oleh Majalah Investor setelah melalui penjurian dan penilaian ketat
untuk memilih yan gterbaik dari sekitar 507 emiten. Adapun peraih Investor
Award 2015 adalah sebagai berikut:
·
Sektor Pertanian &
Peternakan: PT Dharma Satya Nusantara Tbk,
·
Sektor Aneka Industri:
PT Berlina Tbk,
·
Sekor tekstil dan
garmen: PT Sri Rejeki Isman Tbk,
·
Sektor Infrastruktur:
PT Telekomunikasi Indonesia Tbk
·
Sektor Perdagangan
& Jasa: PT Tiphone Mobile Indonesia Tbk,
·
Sektor Industri Dasar
dan Primer: PT Samindo Resources Tbk,
·
Sektor Makanan &
Minuman: PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk
·
Sektor Rokok, Farmasi,
dan Keperluan Rumah Tangga: PT Unilever Indonesia Tbk,
·
Bidang usaha investasi:
PT Panin Financial Tbk,
·
Sektor Perbankan: PT
Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk,
·
Industri Reksa Dana dan
Sekurtitas: PT Kresna Graha Sekurindo Tbk,
·
Sektor Properti &
Konstruksi: PT Lippo Karawaci Tbk, dan
·
Serta sektor
elektronika: PT Multipolar Technology Tbk.
Investor Award tahun ini tidak
memberikan penghargaan kepada empat sektor usaha yaitu bidang usaha Pembiayaan
atau Multifinance, Industri Logam dan Kabel, Kehutanan, serta Asuransi. Dewan
Juri melihat perusahaan-perusahaan yang berada di sektor tersebut justru
memiliki kinerja keuangan negatif pada beberapa indikator penting yang dinilai.
Selain itu ada juga sektor yang tidak memenuhi persyaratan jumlah emiten yang
berhak dinilai, yaitu minimal 3 kandidat.
Pemilihan pemenang mengacu pada
setidaknya 9 persyaratan antara lain menilai kepatuhan emiten dalam
mempublikasikan laporan keuangan tahun buku 2014. Selanjutnya, emiten tersebut
sudah harus sudah tercatat di Bursa Eefek Indonesia (BEI) sebelum tahun 2014
dan tidak mendapat opini disclaimer dan/atau adverse dari akuntan publik.
Perusahaan tersebut tidak boleh dalam posisi rugi pada laporan keuangan terakhir
serta memiliki ekuitas minimal Rp 50 miliar.
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) kembali
memperoleh penghargaan atas akuntabilitas kinerjanya. Tahun ini, Laporan Akuntabilitas Instansi Pemerintah
(LAKIP) Kemenkeu berhasil memperoleh predikat A atau memuaskan dari Kementerian
Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB). Penghargaan
diserahkan oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla di Istana Wakil Presiden, Jakarta,
Selasa (15/12).
Seperti diketahui, mulai tahun 2010,
Kementerian PANRB secara rutin melakukan evaluasi terhadap seluruh
kementerian/lembaga (K/L) dan pemerintah provinsi. Proses evaluasi dilakukan
dengan melihat seluruh aspek yang terkait dengan penerapan manajemen kinerja di
instansi pemerintah, sehingga mampu membangun etos kerja pemerintahan yang
berorientasi pada hasil, sebagai bentuk akuntabilitas kinerja instansi
pemerintah.
Menteri PANRB Yuddy Chrisnandi
mengungkapkan, tahun ini terdapat empat K/L dan dua pemerintah provinsi yang
memperoleh predikat memuaskan dengan nilai di atas 80. Dari hasil evaluasi yang
dilakukan oleh Kementerian PANRB tercatat, dari 86 K/L yang dievaluasi,
Kemenkeu berhasil meraih nilai tertinggi, yaitu 83,59. Sementara, tiga K/L lain
yang juga meraih predikat memuaskan yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi,
Kementerian Kelautan dan Perikanan, serta Badan Pemeriksa Keuangan. Selain itu,
dua provinsi yang meraih predikat memuaskan adalah Provinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta dan Provinsi Jawa Timur.
Dalam sambutannya, Wapres mengapresiasi
instansi yang telah memberikan kinerja terbaik bagi kelangsungan pemerintahan.
"Pekerjaan kita dievaluasi dan dinilai. Gunanya adalah bagi yang A tetap
mempertahankan, yang di bawah agar dapat mencapai lebih baik lagi,"
katanya.
Ia menambahkan, semakin baik hasil
evaluasi yang diperoleh instansi pemerintah, menunjukkan semakin baik tingkat
efektivitas dan efisiensi penggunaan anggaran dibandingkan dengan capaian
kinerjanya, serta semakin baik kualitas pembangunan budaya kinerja birokrasi di
instansi tersebut. “Hasil evaluasi akuntabilitas kinerja ini dapat menjadi
ukuran sejauh mana instansi pemerintah berorientasi kepada hasil,” ungkapnya.
Pada kesempatan ini, ia juga menegaskan
agar seluruh instansi pemerintah dapat membangun etos kerja mengutamakan hasil
yang memberikan manfaat nyata baik bagi masyarakat, bangsa dan negara. Seluruh
anggaran yang dikelola harus benar-benar digunakan bagi kepentingan publik dan
berorientasi pada hasil. “Kinerja tidak hanya dilihat dari sisi penyerapan
anggaran tetapi juga kesesuaian dengan hasil yang diperoleh,”
Kementerian Keuangan kembali menduduki
peringkat teratas instansi pemerintah berkinerja terbaik di Indonesia.
Penghargaan tersebut diperoleh berdasarkan Laporan Akuntabilitas Instansi
Pemerintah (LAKIP) Kemenkeu yang pada tahun ini kembali memperoleh predikat A
atau memuaskan dari Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi
Birokrasi (PANRB) dengan nilai tertinggi, yaitu 83,59 disusul oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) 80,89, lalu Kementerian Kelautan dan Perikanan
(KKP) 08,76, serta Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dengan nilai 80,45. Nilai
83,59 yang diperoleh Kemenkeu tersebut merupakan hasil evaluasi terhadap
seluruh aspek yang terkait dengan penerapan manajemen kinerja di seluruh unit
eselon satu Kemenkeu termasuk Direktorat Jenderal Pajak (DJP), yang mampu
membangun etos kerja pemerintahan yang berorientasi pada hasil, sebagai bentuk
akuntabilitas kinerja instansi pemerintah.
Tahun ini merupakan tahun ketiga sejak
2013, dimana Kemenkeu raih penghargaan sebagai instansi pemerintahan berkinerja
terbaik di Indonesia. Penghargaan diserahkan oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla di
Istana Wakil Presiden, Jakarta, Selasa (15/12). Untuk tahun ini dari 86
Kementerian/Lembaga (K/L) dan seluruh pemerintah provinisi terdapat empat K/L,
yaitu Kemenkeu, KPK, KKP dan BPK, serta dua pemerintah provinsi, yaitu Derah
Istimewa Yogyakarta dan Jawa Timur, yang memperoleh predikat memuaskan dengan
nilai di atas 80.
Dalam sambutannya, Wapres mengharapkan
agar K/L dan pemerintah provinsi yang mendapat nilai A agar tetap
mempertahankan, dan yang di bawah agar dapat meningkatkan kinerjanya. Menurut
Wapres, semakin baik hasil evaluasi yang diperoleh instansi pemerintah, maka
hal itu menunjukkan semakin baik tingkat efektivitas dan efisiensi penggunaan
anggaran dibandingkan dengan capaian kinerjanya, serta semakin baik kualitas
pembangunan budaya kinerja birokrasi di instansi tersebut. "Hasil evaluasi
akuntabilitas kinerja ini dapat menjadi ukuran sejauh mana instansi pemerintah
berorientasi kepada hasil," ucap Wapres. Wapres mengingatkan pula agar
seluruh K/L dan pemerintah provinsi dapat membangun etos kerja mengutamakan
hasil yang memberikan manfaat nyata baik bagi masyarakat, bangsa dan negara.
Seluruh anggaran yang dikelola harus benar-benar digunakan bagi kepentingan
publik dan berorientasi pada hasil. "Kinerja tidak hanya dilihat dari sisi
penyerapan anggaran tetapi juga kesesuaian dengan hasil yang diperoleh,"
pesannya.
Referensi
:
WAHYU HIDAYAT.ANALISIS PERBANDINGAN
KINERJA KEUANGAN SEBELUM DAN SESUDAH IMPLEMENTASI PSAK BERBASIS IFRS (Studi
Pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar Di BEI)
UPIK MAHARANI. 2015. FAKTOR-FAKTOR YANG
MEMPENGARUHI KETEPATWAKTUAN PELAPORAN KEUANGAN TAHUNAN PERUSAHAAN. Fakulltas
Ekonomika dan Bisnis.Universitas Diponegoro.. SEMARANG
Ursula Claudya ,Pratiwi Budiharta.
ANALISIS PERBEDAAN KUALITAS AKUNTANSI SEBELUM DAN SESUDAH KONVERGENSI IFRS. Program
Studi Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Atma Jaya Yogyakarta
Tulisan ini untuk memenuhi tugas
softskill Mata Kuliah Akuntansi Internasional
Dosen :
Jessica Barus, SE.,MMSI.
Nama :
I. Andani
UNIVERSITAS GUNADARMA