Produksi
Industri Berbasis Ekspor Melorot
JAKARTA-Meskipun secara keseluruhan produksi
manufaktur pada tahun lalu naik 4,12%, kinerja beberapa sektor berbasis ekspor
mengalami kontraksi akibat krisis ekonomi global serta masalah regulasi dan
buruh di dalam negeri.
Badan Pusat Statistik mencatat produksi sejumlah sektor industri yang mengandalkan eskpor turun pada tahun lalu, seperti logam dasar, tekstil, mesin dan perlengkapnnya, furnitur, produk kertas, barang kerajinan, percetakan, dan minuman.
Ade Sudrajat, Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), mengungkapkan penurunan produksi industri tekstil yang mencapai 8,32% lebih disebabkan oleh regulasi dan permasalahan di dalam negeri daripada dampak krisis global.
"Memang krisis ekonomi di Eropa berdampak, tetapi masalah internal seperti adanya regulasi yang membatasi kinerja ekspor dan masalah buruh juga menjadi penyebabnya," ujarnya kepada Bisnis, Minggu (3/2).
Data BPS memperlihatkan secara kumulatif nilai ekspor Indonesia pada tahun lalu mencapai US$190,04 miliar atau turun 6,61% dibandingkan dengan periode yang sama 2011, sementara ekspor nonmigas US$153,07 miliar atau turun 5,52%.
Berdasarkan sektor, ekspor hasil industri pada Januari-Desember 2012 turun 4,95% dibandingkan dengan periode yang sama 2011. Adapun, ekspor hasil tambang dan lainnya turun 9,57% dan ekspor hasil pertanian naik 7,98%. Ade menjelaskan pemberlakuan
Peraturan Menteri Keuangan No.PMK 253 Tahun 2011 yang mengatur Kemudahan Impor Tujuan Ekspor (KITE) menyebabkan kinerja industri TPT menurun.
Dalam aturan tersebut, eksportir TPT harus membayar pajak pertambahan nilai (PPn) di muka dan membuat proses restitusi pajak semakin lama sehingga mengganggu permodalan industri.
Aturan tersebut, tuturnya, juga mengakibatkan pengusaha TPT kesulitan mendapatkan restitusi pajak dan tidak boleh melimpahkan pesanan kepada subkontraktor sehingga pengusaha kesulitan memenuhi permintaan dari luar negeri. "Masalah dalam negeri ini yang lebih banyak menghambat pertumbuhan industri TPT," katanya.
Selain itu, lanjut Ade, pengusaha kesulitan untuk memasarkan produk di dalam negeri karena melonjaknya impor, terutama dari China, sehingga produk lokal kehilangan daya saing.
Pada tahun lalu juga terjadi masalah perburuhan yaitu tuntutan penaikan upah minimum provinsi melalui unjuk rasa buruh yang menyebabkan beberapa perusahaan sempat berhenti produksi. MELEMAH
Ambar Tjahyono, Ketua Asosiasi Industri Permebelan dan Kerajinan Indonesia (Asmindo), mengatakan perkiraan ekspor produk furnitur pada tahun lalu memang melemah dan hanya mencatat US$1,75 miliar akibat krisis ekonomi global.
"Ekspor ke Eropa tidak bisa diandalkan sepenuhnya karena kondisi ekonomi global sedang menurun. Tahun ini, kami akan mencoba membuka pasar baru di Asia Tenggara, Afrika, Timur Tengah, dan Asia," ujarnya.
Haris Munandar, Kepala Pusat Pengkajian Kebijakan Iklim dan Mutu Industri Kementerian Perindustrian, mengatakan penurunan produksi manufaktur pada tahun lalu juga disebabkan banyak pengusaha belum memulai produksi komersial walaupun telah menambah investasi.
Investasi di sektor logam, mesin, dan elektronik, contohnya, mencapai US$2,4 miliar pada tahun lalu, naik 38,3% dibandingkan dengan 2011. Namun, di sisi lain, industri logam dasar dan mesin mengalami penurunan produksi masing-masing 8,4% dan 8,3%.
"Memang investasi pada tahun lalu di sektor manufaktur melonjak. Jika ada penurunan produksi, faktor lainnya adalah karena belum mulai produksi komersial saja," katanya.
Badan Pusat Statistik mencatat produksi sejumlah sektor industri yang mengandalkan eskpor turun pada tahun lalu, seperti logam dasar, tekstil, mesin dan perlengkapnnya, furnitur, produk kertas, barang kerajinan, percetakan, dan minuman.
Ade Sudrajat, Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), mengungkapkan penurunan produksi industri tekstil yang mencapai 8,32% lebih disebabkan oleh regulasi dan permasalahan di dalam negeri daripada dampak krisis global.
"Memang krisis ekonomi di Eropa berdampak, tetapi masalah internal seperti adanya regulasi yang membatasi kinerja ekspor dan masalah buruh juga menjadi penyebabnya," ujarnya kepada Bisnis, Minggu (3/2).
Data BPS memperlihatkan secara kumulatif nilai ekspor Indonesia pada tahun lalu mencapai US$190,04 miliar atau turun 6,61% dibandingkan dengan periode yang sama 2011, sementara ekspor nonmigas US$153,07 miliar atau turun 5,52%.
Berdasarkan sektor, ekspor hasil industri pada Januari-Desember 2012 turun 4,95% dibandingkan dengan periode yang sama 2011. Adapun, ekspor hasil tambang dan lainnya turun 9,57% dan ekspor hasil pertanian naik 7,98%. Ade menjelaskan pemberlakuan
Peraturan Menteri Keuangan No.PMK 253 Tahun 2011 yang mengatur Kemudahan Impor Tujuan Ekspor (KITE) menyebabkan kinerja industri TPT menurun.
Dalam aturan tersebut, eksportir TPT harus membayar pajak pertambahan nilai (PPn) di muka dan membuat proses restitusi pajak semakin lama sehingga mengganggu permodalan industri.
Aturan tersebut, tuturnya, juga mengakibatkan pengusaha TPT kesulitan mendapatkan restitusi pajak dan tidak boleh melimpahkan pesanan kepada subkontraktor sehingga pengusaha kesulitan memenuhi permintaan dari luar negeri. "Masalah dalam negeri ini yang lebih banyak menghambat pertumbuhan industri TPT," katanya.
Selain itu, lanjut Ade, pengusaha kesulitan untuk memasarkan produk di dalam negeri karena melonjaknya impor, terutama dari China, sehingga produk lokal kehilangan daya saing.
Pada tahun lalu juga terjadi masalah perburuhan yaitu tuntutan penaikan upah minimum provinsi melalui unjuk rasa buruh yang menyebabkan beberapa perusahaan sempat berhenti produksi. MELEMAH
Ambar Tjahyono, Ketua Asosiasi Industri Permebelan dan Kerajinan Indonesia (Asmindo), mengatakan perkiraan ekspor produk furnitur pada tahun lalu memang melemah dan hanya mencatat US$1,75 miliar akibat krisis ekonomi global.
"Ekspor ke Eropa tidak bisa diandalkan sepenuhnya karena kondisi ekonomi global sedang menurun. Tahun ini, kami akan mencoba membuka pasar baru di Asia Tenggara, Afrika, Timur Tengah, dan Asia," ujarnya.
Haris Munandar, Kepala Pusat Pengkajian Kebijakan Iklim dan Mutu Industri Kementerian Perindustrian, mengatakan penurunan produksi manufaktur pada tahun lalu juga disebabkan banyak pengusaha belum memulai produksi komersial walaupun telah menambah investasi.
Investasi di sektor logam, mesin, dan elektronik, contohnya, mencapai US$2,4 miliar pada tahun lalu, naik 38,3% dibandingkan dengan 2011. Namun, di sisi lain, industri logam dasar dan mesin mengalami penurunan produksi masing-masing 8,4% dan 8,3%.
"Memang investasi pada tahun lalu di sektor manufaktur melonjak. Jika ada penurunan produksi, faktor lainnya adalah karena belum mulai produksi komersial saja," katanya.
sumber : Bisnis Indonesia
komentar-
komentar :
1. Ika andani ( 23212571 )
Penurunan produksi industri
yang mengandalkan ekspor akhir- akhir ini memang sedang mengalami penurunan,
seperti produksi sektor industri, Yaitu logam dasar, tekstil, mesin dan
perlengkapannya, furnitur, produksi kertas, barang kerajinan, percetakan dan minuman,
penurunan ini di sebabkan oleh regulasi dan pemasarannya yang ada di dalam negri seperti yang sudah di jelaskan oleh Ade
Sudrajat, Ketua Asosiasi Perstekstilan Indonesia ( API ) bahwa Peraturan
Menteri Keuangan No.PMK 253 Tahun 2011 yang mengatur Kemudahan Impor Tujuan
Ekspor (KITE) menyebabkan kinerja industri TPT menurun karena eksportir TPT
harus membayar pajak pertambahan nilai & membuat proses restitusi pajak
yang mengganggu permodalan industri dan mengakibatkan perusahaan TPT mendapat
restitusi pajak. Dari segi perusahaan kesulitan untuk memasarkan produk di
dalam negri karna melonjaknya impor, sehimgga produk lokal kehilangan daya
saing serta masalah krisis ekonomi global yang sedang menurun.
2.
Irma
Selvyani
( 28212140 )
Produksi
industri berbasis ekspor saat ini memang mengalami penurunan ini disebabkan
karena kinerja dalam bidang ekspor masih lambat. Namun, pemeribtah terus
mendorong kapasitas produksi industri untuk memperbaiki penurunan ini. Selain kinerja yang lambat ada
factor lain yang menyebabkan produksi industry berbasis ekspor mengalami
penurunan yaitu tantangan yang dihadapi oleh industri kimia yang
termasuk di dalamnya industri plastik dan karet adalah semakin ketatnya
persaingan ekspor, terutama di pasar Eropa yang mengalami krisis. Hal ini tampak pada ekspor produk
industri termasuk industri kimia pada semester pertama tahun 2012 yang
mengalami penurunan cukup signifikan. Kondisi ini cukup mengkhawatirkan. Karena itu, industri
nasional dituntut terus meningkatkan daya saing melalui berbagai upaya
efisiensi.
3.
Liberti ( 24212192 )
Melemahnya produksi industri berbasis
ekspor melosot akibat adanya kinerja beberapa sektor berbasis ekspor mengalami
kontraksi akibat adanya krisis global. Serta permasalahan – permasalahan di dalam negeri yang menyebebutkan bahwa
eksportir TPT harus membayar pajak penambahan nilai (ppn) di muka dan membuat
proses restitusi pajak semakin lama mengganggu permodalan industri serta para
pengusaha yang sulit memasarkan produkn ya karena melonjaknya impor dan kehilangan
daya saing.
4.
Wiwit Tri Chahyani
Menananggapi Industri
Ekspor yang melorot pemerintah seharusnya menindak lanjuti masalah internal
seperti adanya regulasi yang membatasi kinerja ekspor mengingat pentingnya
komuditi ekspor yang menambah pendapatan negara seharusnya pemerintah
memberikan kemudahan bagi eksportir TPT bukan malah memperburuk keadaan dengan
pemberlakuan membayar pajak pertambahan nilai di muka dan membuat proses
restitusi pajak semakin lama sehingga mengganggu permodalan industri.Belum lagi
persoalan produktivitas pekerja, di mana Indonesia hanya memililki
produktivitas jam kerja 40 jam per minggu.
Padahal, di negara lain
seperti China, produktivitas jam kerjanya mencapai 48 jam per minggu. Dan yang
paling memberatkan pengusaha di Indonesia setiap tahun kita harus di-pusingkan dengan
persoalan. UMP (Upah Minumum Provinsi-red) yang setiap tahunnya pasti naik 6-11
persen,. Tak hanya itu kondisi perekonomian global yang tak kunjung
memperlihatkan adanya pemulihan, khususnya di Eropa dan Amerika Serikat,
membuat Indonesia akan sulit menggenjot produk maupun komoditas ekspor. Kondisi
ini diperburuk oleh harga komoditas ekspor yang belum stabil.mka dari itu
kebijakan pemerintah yang mengurusi ekspor seharusnya ditinjau kembali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar